Kontroversi Uang Lem Aibon

Penulis : Edi Winarto

Mantan Staf Khusus Plt Gubernur DKI Jakarta

Pembahasan rencana penggunaan mata Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2020 menjadi kontroversial dan gaduh setelah Fraksi Partai Solidaritas Indonesia menemukan dan mempublikasikan adanya kejanggalan dalam penyusunan pos anggaran.

PSI mengawasi ketat dan menyisir setiap pos anggaran dalam rencana Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran (KUA-PPAS) 2020 yang diusulkan Pemda DKI.

Meski pembahasan baru diawal, Fraksi PSI sudah menemukan pos anggaran yang tidak wajar dan tidak masuk akal. Pertama pembelian lem Aibon senilai Rp 82,8 Miliar dan Pembelian Pulpen senilai Rp 124 Miliar.

Meski kemudian Anggaran Prioritas Plafon Anggaran (KUA-PPAS) 2020 dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) itu kemudian “menghilang” dan Dinas Pendidikan membantah adanya anggaran tersebut dengan dalih mereka salah input data dan salah ketik.

Sering terjadinya keanehan dan kejanggalan penganggaran dalam RAPBD bahkan APBD DKI Jakarta bukan barang baru atau pertama kali terjadi. Jejak rekam mencatat kasus ini terjadi beberapa kali. Masalah pemborosan anggaran sering terjadi dan memicu kontroversi.

Pada Januari 2015, ketika Gubernur DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ia menemukan adanya anggaran fiktif mencapai angka Rp 12,1 triliun. Ahok menyebut APBD versi DPRD berbeda dengan hasil rapat paripurna pengesahan RAPBD antara eksekutif dan legislatif pada 27 Januari 2015.

Biasanya dari DPRD melakukan pembahasan lagi lalu mengutak-atik nomenklatur anggaran. Anggota Dewan memotong anggaran kegiatan antara 10 persen hingga 15 persen lalu membuat kegiatan baru. Jika dikumpulkan, jumlah anggaran yang dinilai fiktif ini mencapai angka Rp 12,1 triliun.

Ahok mencontohkan, dana fiktif digunakan untuk membeli peralatan dengan harga tidak masuk akal. Misalnya pembelian alat Uninterruptible Power Supply (UPS) seharga Rp 4,2 miliar di kelurahan. Padahal Ahok sudah menanyakan kepada para lurah yang ternyata tidak mengajukan pembelian tersebut.

Waktu itu Gubenur DKI Jakarta Ahok mengaku rumahnya saja pakai genset tidak sampai Rp 100 juta.

Saat masih tahap pembahasan RAPBD, Ahok juga pernah menuding DPRD memasukkan anggaran fiktif Rp 8,8 triliun dalam pos kegiatan sosialisasi kebijakan. Setelah diklarifikasi antara dewan dan eksekutif, angka tersebut dihilangkan.

Namun usai paripurna pengesahan, dana fiktif tersebut muncul kembali dengan nilai Rp 12,1 triliun.

Modus utak-atik anggaran ini, jamak dilakukan pada waktu sebelumnya. Caranya dengan menitipkan mata anggaran kepada SKPD untuk diketik dalam draf APBD. Namun karena dengan sistem e-budgeting seperti sekarang, cara ini sudah tidak bisa dilakukan lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: