Kontroversi Uang Lem Aibon

Jangan sampai memunculkan anggapan dari publik, apakah ini unsur kesengajaan atau kealphaan. Karena jika semua unsur birokrasi bekerja sesuai profesionalisme dan integritasnya tak perlu memasukkan hal-hal yang diluar penalaran. Artinya anggaran harus bisa dibuat dengan pola transparan dan masuk akal.

Pemprov DKI Jakarta harus mempublikasikan Rencana anggaran tersebut kepada publik sehingga bisa dikoreksi dan ada masukan. Karena partisipatif pengawasan tidak hanya dibebankan kepada wakil rakyat, namun rakyat juga memiliki hak untuk mengakses langsung anggaran pemerintah dan memberikan masukannya melalui mekanisme DPRD.

Persoalan kasus pos anggaran pembelian lem Aibon Rp82 miliar dan pengadaan Ballpoint senilai Rp 142 miliar menurut hemat penulis disebabkan ketidaktelitian Kepala Daerah dalam menyisir anggaran dan memberikan arahan kepada jajaran dalam rapat yang penulis pernah punya pengalaman hampir dilakukan setiap hari dari pagi hingga malam.

Apalagi penyusunan anggaran sangat terkait dengan pengelolaan uangnya rakyat. Semangat memberikan pelayanan kepada rakyat, mensejahterakan rakyat harus ada dalam roh pemerintahan. Bukan justru mementingkan anggaran untuk personil ASN, lembaga demi mendapatkan berbagai macam fasilitas kemewahan yang membelinya dengan menggunakan uang rakyat.

Disini Kepala Daerah harus bisa ketat mengawasi dan mengendalikan jajaran birokrasi. Jangan sampai justru kepala daerah bisa disetir birokrasinya karena kurang memahami pemetaan di dalam tubuh birokrasinya.

Budaya birokrasi dan kebiasaan adanya permainan tertentu yang tentunya aparat birokrasi lebih lihai karena dia berada di pemerintahan bertahun-tahun sehingga bisa membaca celah dan peluang untuk memanfaatkan situasi jika Kepala Daerah lengah.

Ujung-ujungnya jika pola mereka terendus BPK atau KPK maka akan menjadi temuan dan berpotensi mengancam Kepala Daerah terjebak dalam pusaran korupsi. Ini yang harus dihindari Kepala Daerah jika ingin selamat menjadi pemimpin hingga 5 tahun pemerintahan.

Karena ulah dan perbuatan anak buah jajaran birokrat atau ASN menjadi tanggung jawab sang pemimpinnya. Sehingga jika diketahui ada oenyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dalam hal keuangan dan birokasi, maka kepala daerah atau pejabat negara bisa ikut terseret dalam mempertanggungjawabkan adanya temuan dan penyimpangan.

Ancaman terseret pusaran kasus korupsi biasanya bermula dari ketidaktahuan atau keteledoran kita terjebak atau ikut arus budaya korup yang dikembangkan sejumlah oknum birokrasi. Kebiasaan ini sudah menjadi makanan mereka sehari-hari dalam pelaksanaan pemerintahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: