MUI, Legitimasi dan Oposisi Kekuasaan

Oleh: Moch Eksan

Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Img 20200921 194942

SEBAGAIMANA yang diprediksikan banyak orang, Rois Aam PBNU, KH Miftahul Akhyar terpilih sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia periode 2020-2025. Musyawarah Nasional MUI ke-10, mengukuhkan konvensi suksesi pucuk pimpinan MUI dari Rois Aam pada Rois Aam PBNU. Kelaziman ini sudah berlangsung semenjak tiga dekade, semenjak KH Ali Yafie, KH Sahal Mahfudz, KH Makruf Amien sampai KH Miftahul Akhyar. Warna keagamaan MUI terlihat berhaluan Islam ala ahlisunnah wal jamaah.

Menariknya, fatwa MUI tak selamanya selaras dengan pandangan dan sikap keagamaan NU. Terutama era KH Ali Yafie versus Gus Dur, KH Makruf Amien versus KH Said Aqiel Siradj. Perbedaan soal liberalisme, Ahmadiyah, penistaan agama dan lain sebagainya. Boleh jadi, perbedaan tersebut manifestasi fiqhul ikhtilaf yang khas dalam diskursus madzhab semenjak salafunash sholeh.

Reputasi MUI pasca Soeharto, semakin terlihat baik di mata ormas, umat dan dunia Islam. Fatwa MUI semakin otonom dari pengaruh pemerintah, meski sedari berdirinya pada 26 Juli 1975, MUI merupakan ormas produk rezim Orde Baru. Soeharto menerapkan kebijakan simplifikasi politik dan sosial. Bukan hanya partai Islam yang hendak difusikan pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tapi ormas Islam juga ingin disatukan ke dalam wadah tunggal, MUI. Kebijakan penyederhanaan partai Islam berhasil, namun penyederhanaan ormas Islam gagal. Sebab, ormas Islam itu mandiri, punya akar sosial, dan amal usaha sendiri yang tak bergantung pada pemerintah. Bahkan, banyak ormas Islam yang membantu pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi.

Pada 5 tahun terakhir, fatwa MUI relatif sangat berpengaruh terhadap perjalanan kehidupan bangsa. Fatwa penistaan agama Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang berhasil memenjarakan Gubernur pasca Jokowi. Fatwa penolakan RUU HIP yang menggagalkan reinkarnasi ideologi Nasakom. Sebuah contoh terbaik, pengaruh efektif dari otoritas keagamaan MUI dalam memproteksi originalitas ajaran Islam. Rezim penguasa harus “takluk” terhadap percaturan wacana dan gerakan umat. Proses hukum harus ditegakkan, dan pembahasan RUU harus dihentikan. MUI berhasil menjaga ajaran dan kepentingan umat Islam di Indonesia.

Mau tak mau, rezim pemerintah harus berhitung ulang terhadap keberadaan MUI, yang selama ini disibukkan dengan sertifikasi halal produk obat dan makanan yang diperjual-belikan di pasar umum, serta pembinaan kerukunan umat beragama, tiba-tiba menjadi oposisi kekuasaan. Dan, fatwa itu bukan hanya membuat “geger”, tapi juga “mengoyang” istana dan partai pengusung rezim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: