MUI, Legitimasi dan Oposisi Kekuasaan

Pengalaman buruk Imam Madzhab fiqih dunia di atas, merupakan gambaran resiko berhadapan dengan rezim penguasa. Kekuasaan partisan berfaham tertentu, seringkali dijadikan “alat” untuk menggebuk faham lain. Rezim penguasa muktazili yang rasional umpamanya, bisa bertindak irasional, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Bani Abbasiyah. Sebab, memang watak asli kekuasaan seringkali disalahgunakan. Atas dasar latar belakang ini, para ulama memandang perlu membangun relasi positif dengan kekuasaan. Tentu misinya, dalam rangka menguatkan ajaran, dan mendapat support struktur kekuasaan untuk mengamalkan ajaran agamanya. Hal ini senada dengan ungkapan, almulk biddini yaqwa wad dinu bilmulk yaqdha (kekuasaan yang ditopang dengan agama akan kuat, dan agama yang ditopang dengan kekuasaan akan kekal). Juga, dalam ungkapan lain, annas ala dini mulkihi (manusia bergantung atas agama penguasanya).

MUI memang didirikan dengan salah satu niat untuk membangun hubungan yang baik dengan pemerintah. Sebab itu, MUI sebagai pemangku ulama dan pemerintah sebagai pemangku umara, harus menjalin hubungan yang simbiosis-mutualisme, demi kebaikan umat dan bangsa.

Hadits riwayat Ibnu Majah menjelaskan: “Shinfaani, dua golongan besar bila keduanya baik, maka baiklah umat manusia. Dan bila mereka buruk, maka hancurlah umat manusia, yaitu ulama dan umara”.

Namun demikian, hubungan ulama dan umara di Indonesia mengalami pasang surat, bergantung posisi ulama dalam kekuasaan negara. Idealnya, ulama iya umara, umara iya ulama, dengan melibatkan ulama dalam proses kandidasi pemimpin nasional, regional dan lokal. Minimal, ulama dan umara harus bermitra dengan baik, dengan menjaga toleransi terhadap tugas dan fungsi masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (AH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: