MUI, Legitimasi dan Oposisi Kekuasaan

Akhirnya, Jokowi mencawapreskan ketua umum MUI sekaligus Rois PBNU, KH Makruf Amien, demi kepentingan stabilitas politik dan mengkanalisasikan aspirasi umat melalui representasi figur utama fakta tersebut. Tapi ternyata, gerakan oposisi umat terhadap rezim tak mereda. Wacana kebangkitan komunis, kriminalisasi ulama, tirani dan ketidakadilan, tetap kuat menjadi arus perlawanan umat Islam terhadap rezim. Ini berarti KH Makruf Amien bukan personifikasi kepentingan umat, bukan pula simbol pemersatu kekuatan umat Islam. Aspirasi dan kekuatan mayoritas penduduk tetap tak bisa disimplifikasi menjadi “wadah tunggal”.

Adalah fakta, umat yang menurut World Population Review mencapai 229 ribu atau 87,2 persen dari 273,4 juta di Indonesia, diwadahi oleh 33 ormas Islam. Memang ormas Islam terbesar adalah NU dan Muhammadiyah. Karena itu, MUI sekadar wadah silaturrahmi dan musyawarah antar umat Islam, baik yang bergabung pada satu ormas Islam maupun mandiri. Sementara, MUI ingin lebih dari itu, layaknya Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada zaman Jepang, ahistoris dengan kultur hibrida dalam tubuh umat Islam. Tiap umat punya otonomi beragama sendiri yang khas dan unik, ditinjaua dari kalam, fiqih maupun tasawwuf.

Syeikh Yusuf Qardhawi, mengetengahkan Fiqhul Ikhtilaf, agar perbedaan pendapat tak sampai membawa perpecahan. Studi Islam diwarnai oleh ragam pemikiran kalam, fiqih dan tasawwuf yang sangat kaya raya. Syeikh Ali Jumah melarang, mengkafirkan orang selagi min ahli lailaha illa Allah, kendati alirannya berbeda dengan paham dan keyakinan yang dianut. Setiap orang punya kemerdekaan berkeyakinan dan melaksanakan ibadah berdasarkan keyakinan tersebut. Penguasa tak berhak memaksa suatu aliran apa pun dan kepada siapa pun pula. Itu hak yang dijamin oleh konstitusi Allah SWT sendiri.

“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS Al-Kahfi:29).

Dalam sejarah, rezim penguasa yang mengintervensi kebebasan berkeyakinan, banyak mengalami kegagalan. Kendati, banyak tokoh yang disiksa dan dipenjara, tidak bisa merubah peta bumi teologi umat. Apalagi, belajar dari manaqib imam madzhab yang 4, saat berhadapan dengan rezim tiran. Abu Hanifah pernah dijebloskan ke penjara oleh Yazid Bin Hubairoh, Gubernur Irak, selama 10 hari dan setiap hari dihukum cambuk 10 kali. Imam Malik pernah dipukul 30 kali oleh Jakfar Bin Sulaiman, Gubernur Madinah. Imam Syafii nyaris dieksekusi mati oleh Harun Al-Rasyid, dipenjara selama 30 bulan dan dihukum cambuk oleh Al-Makmun. Dan, Imam Hambali dipenjara oleh Al-Makmun dan baru dibebaskan setelah rezim berganti Al-Mutawakkil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: