Harta Fantastis Birokrat Bukti Kegagalan Kepemimpinan Politik

Seorang pegawai pemerintah dengan gaji paling besar Rp50 juta bisa memiliki kekayaan puluhan miliar hingga ratusan miliar. Kasus ini terungkap setelah diawali mencuatnya harta mantan pejabat Pajak Rafael Alun Trisambodo.

Kemudian Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Makassar Andhi Pramono berharta Rp13,7 miliar. Istrinya hobi memamerkan kekayaan dan gaya hidup mewah.

Terbaru, pejabat Badan Pertahanan Nasional (BPN) Sudarman Harja Saputra punya harta Rp14,7 miliar berupa tanah dan bangunan dimana-mana dan koleksi mobil mewah.

Bak bola salju menggelinding. Ditengah KPK sibuk mengklarifikasi dan memeriksa harta fantastis dan tak wajar sejumlah pegawai dan pejabat birokrasi pemerintah. PPATK kembali membuka temuan ada 964 pegawai Kemenkeu yang diduga memiliki harta kekayaan tak wajar.

Puncaknya ketika Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mahfud MD melontarkan temuan data PPATK yang menyebut ada Rp 300 Triliun transaksi mencurigakan terjadi di Kementrian Keuangan.

Sontak temuan tersebut menghebohkan pandangan publik tak terkecuali pimpinan di Kementrian Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seolah tak percaya dengan apa yang ditemukan PPATK tentang adanya transaksi mencurigakan tersebut. Bisa jadi transaksi besar itu adalah harta warisan dari orang tua si pegawai atau pejabat. Tapi cukup mudah untuk menelusuri asal usul harta tersebut asal pemerintah berani bersikap transparan.

Kekayaan para PNS dan pejabat pemerintah ini bukan rahasia umum. Apalagi jika jabatan mereka menyangkut bidang penindakan, pemeriksaan, aparat hukum, penerbitan dokumen perijinan dan birokrasi lainnya yang sangat berdekatan atau menyentuh pada layanan masyarakat.

Terutama dunia usaha. Godaannya sangat tinggi dan sangat mudah untuk mencari uang tak halal.

Pasalnya sudah menjadi rahasia umum di mata masyarakat dan sebuah stigma jika kita berurusan dengan hukum, mengurus surat perijinan, surat keterangan dan dokumen penagihan, dokumen lelang, dokumen penting lainnya, selalu tak terlepas dari budaya “uang kopi”, uang lelah hingga presentase “harga” dari surat atau dokumen yang akan diterbitkan.

Jika itu menyangkut pelayanan sertifikat tanah mereka kadang mematok “harga gratifikasi” sesuai harga tanah yang tertera dalam sertifikat. Maka tak salah jika Presiden Joko Widodo sendiri yang turun tangan langsung mengelola pelayanan sertifikat gratis melalui Program Sertifikat Tanah Gratis atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)

Kenapa Presiden Jokowi sampai turun tangan langsung untuk membagi-bagikan kepada masyarakat tak mampu. Karena mereka selalu mentok dengan pelayanan di institusi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Itupun masih terdengar sayup-sayup disana sini yang telah mendapatkan sertifikat melalui program PTSL masih juga dimintai sekadar uang pengganti layanan atau apapun namanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: