Harta Fantastis Birokrat Bukti Kegagalan Kepemimpinan Politik

Seorang pegawai pemerintah dengan gaji paling besar Rp50 juta bisa memiliki kekayaan puluhan miliar hingga ratusan miliar. Kasus ini terungkap setelah diawali mencuatnya harta mantan pejabat Pajak Rafael Alun Trisambodo.

Jabatan pemimpin politik dan penyelenggara pemerintah biasanya didukung partai politik.
Banyak tokoh berambisi dan berebut ingin menjadi menteri, kepala institusi, pejabat dan sebagainya. Karena jabatan menteri dan kepala lembaga sangat prestisius, bergengsi dan membuat bangga bagi pejabat dihadapan koleganya.

Namun ambisi tersebut tidak dibarengi hati nurani, misi, dan tujuan menjadi pemimpin di lembaga atau institusi tersebut. Apa yang ingin dipersembahkan buat rakyat. Kemudian mampukah ia memiliki manajerial skills yang mampu menjadi orkestra baik untuk memimpin dan memberikan teladan bagi para pegawainya.

Mampukah ia menjadi pemimpin yang mampu memberikan rewards dan punishment kepada anak buahnya agar bisa bekerja ikhlas dan tulus buat rakyat. Mampukah ia menjadi nahkoda yang menghasilkan tujuan yang baik.

Mampu mendorong anak buahnya birokrat bukan bekerja untuk memperkaya, menambah pundi-pundi kekayaan dan menyengsarakan rakyat karena layanannya tidak adil dan diskriminatif. Tapi pemimpin itu lebih membela rakyatnya yang menjadi tuannya bukan pegawainya yang dibela padahal telah mengkhianati dan memanfaatkan kewenangan untuk kepentingan pribadi.

Sebenarnya nasib mereka bergantung dari pemimpin tertinggi politik di negeri ini. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.

Hanya saja seringkali manajemen dan tatanan yang ada di internal birokrasi sering tidak mampu di jangkau oleh pemimpin politik.

Banyak politisi dan partai politik berambisi memasukkan kadernya untuk memimpin lembaga kementrian, pejabat negara, dan kepala daerah. Namun banyak kader partai politik atau politisi tak mampu menjangkau “kekuasaan” birokrasi.

Birokrat menduduki di sebuah institusi atau lembaga bisa puluhan tahun hingga ia memasuki masa pensiun. Sedangkan pemimpin politik hanya berkuasa 5 tahun sekali.

Penulis punya pengalaman pernah dicurhati oleh seorang pejabat pemerintah. Ia mengatakan sangat sulit mengendalikan anak buahnya yang merupakan pejabat eselon I, II dan III. Mereka selalu ingin berjalan sendiri. Jika di dalam rapat mereka seolah menurut, manggut-manggut dan selalu berkata siap.

Namun dalam implementasi di lapangan selalu berubah seratus delapan puluh derajat. Perintah atau acuan bekerja yang telah disampaikan pimpinan atau menteri hanya “diiyakan” diatas meja rapat. Setelah itu banyak birokrasi bekerja atas keyakinannya sendiri.

Ketika dikomplain oleh seorang pejabat pemerintah atau menteri, mereka seolah orang paling berpengalaman dan menakut-nakuti si pemimpin politik ini dengan dalih apa kebijakan pimpinan politik itu tak sesuai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Rencana Pembangunan Jangka Pendek, bla..bla..bla

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: