Merawat Kebhinekaan Dengan Eksplorasi Nusantara

Saya beserta rombongan (Cipto, Febri, dan Infant) yang berjumlah 4 orang berangkat dari Jawa Timur, tepatnya pada tanggal 14 Agustus 2020 di perbatasan antara Lamongan dan Bojonegoro dengan membawa bekal yang secukupnya dan persiapan yang seadanya.

Keberangkatan untuk menuju ke Wonosobo membutuhkan estimasi waktu kurang lebih 12 jam untuk menuju ke lokasi yang akan di tuju jam 4 subuh dari Lamongan sampai dengan jam 5 sore mencapai di bumi Wonosobo asri.

Estimasi waktu yang cukup lama dan panjang karena pada saat itu para rombongan menggunakan motor dan kondisi fisik tubuh rombongan di kala itu di kategorikan “kurang fit”.

Bekal keuangan yang pas – pas an menjadi suatu tekad bagi kawan rombongan untuk menjelajahi.

Hal ini menjadi suatu tantangan bagi para pendaki jikalau ketika ingin mendaki ke lokasi dengan jarak tempuh yang jauh dengan alamat rumah atau persinggahan.

Perjalanan dari Lamongan menuju Wonosobo menjadi tantangan bagi saya untuk mengeksplorasi perjalanan sekaligus menikmati bumi “Prasetya Ulah Shakti Bakti Praja” di Jawa Tengah yang masuk dalam kategori asri.

Kemudian perjalanan sedikit ekstrim ketika sudah memasuki jalan raya yang hutannya semakin lebat. Lebih tepatnya di perbatasan Kabupaten Bojonegoro – Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ngawi – Kabupaten Sragen, Sragen – Purwodadi – Boyolali, Salatiga – Kabupaten Semarang – Magelang – Temanggung.

Ketika melewati Kabupaten Ngawi – Kabupaten Sragen, khususnya lebih tepatnya sudah memasuki Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Saya beserta rombongan hampir saja di tabrak oleh pengemudi truk yang ugal – ugalan dan memang kondisi pengemudi di saat itu mendem atau mabuk.

Sehingga kami memutuskan untuk ngebut dan konsekuensinya adalah ketilang oleh pihak polantas Kabupaten Sragen. Namun alhamdulillah kita mencoba melakukan dialog humanity dan harmonisasi, dan akhirnya dari pihak berwajib memberikan sedikit toleransi dari hasil dialog antara saya dan pihak kepolisian.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dan tiba di masjid kabupaten semarang. Saya melihat sektor agraria yang masih ada dan juga asri, bahkan masif.

Dan di situ saya mencoba berdialog dengan warga sekitar mengenai potensi wilayah yang di hasilkan atau pekerjaan sehari – hari beliau lebih mengedepankan pada sektor agricultur dan agribisnis dalam mewujudkan sektor ketahanan pangan.

Dan kultur yang di bangun adalah mengedepankan prinsip gotong royong yang di lakukan oleh masyarakat tersebut. Khususnya di masjid sekitar yang menyediakan bahan pangan secara gratis dan dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar, khususnya saya beserta rombongan bisa memanfaatkan fenomena tersebut sebagai bahan kebutuhan eksplorasi selanjutnya sekaligus rehat di tempat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: