Yogyakarta, EDITOR.ID,- Ratusan civitas akademika UGM dan UII, mulai mahasiswa, dosen hingga Guru Besar menggelar aksi demo. Mereka secara tegas menolak rencana Dwifungsi ABRI yang disusupkan melalui agenda revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Aksi ini dilakukan di halaman Balairung UGM pada 18 Maret 2025 siang hari. Ada lima poin tuntutan yang disampaikan.
Peserta aksi terdiri dari mahasiswa hingga dosen dengan menyampaikan sejumlah orasi dan membentangkan spanduk menanggapi RUU TNI.
Menariknya, selain dihadiri elemen dan civitas akademika UGM, aksi ini turut dihadiri Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dan Guru Besar Komunikasi UII Prof Dr Masduki.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Achmad Munjid sebagai salah seorang orator aksi menyatakan, secara substantif, daftar inventarisasi dalam RUU TNI menyebut, perluasan posisi rangkap jabatan yang dimungkinkan bagi anggota TNI aktif, termasuk posisi yang memasuki ranah peradilan, tidak mencerminkan prinsip dasar supremasi sipil.
Revisi UU TNI Ancam Independensi Peradilan dan Perkuat Impunitas Anggota TNI
“Jelas, draf revisi UU TNI itu justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI,” katanya dalam aksi di Balairung UGM, Selasa (18/3/2024).
Diakui, usulan revisi UU TNI yang memungkinkan TNI melakukan dwifungsi tugas, tidak hanya kemunduran dalam berdemokrasi, tapi juga merusak tatanan agenda reformasi TNI.
Ia berpandangan, rencana untuk menarik kembali peran TNI ke dalam jabatan kekuasaan sosial, politik, dan ekonomi justru akan semakin menjauhkan TNI dari profesionalisme yang diharapkan.
“Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis dan akan membawa bangsa ini kembali pada keterpurukan otoritarianisme seperti masa Orde Baru,” tegasnya.
Munjid menegaskan, ide dwifungsi TNI ini harus jadi sorotan dan kekhawatiran bagi semua pihak. Tak terkecuali oleh pihak kampus yang banyak diisi akademisi.
“Ini baru awal aksi, gaung keresahan soal dwifungsi TNI ini harus disebarluaskan dan dikritisi semua pihak,” tegasnya.
Lima Butir Seruan UGM dan UII
Dalam aksi itu, Munjid mewakili massa aksi juga menyampaikan lima butir seruan. Pertama, menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi UU TNI yang tidak transparan, terburu-buru, dan mengabaikan suara publik, karena itu kejahatan konstitusi.
Kedua, menuntut pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati agenda reformasi dengan menjaga prinsip supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum, serta menolak dwifungsi TNI/Polri.
Ketiga, menuntut TNI/Polri sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik.
Keempat, mendesak seluruh insan akademik di seluruh Indonesia segera menyatakan sikap tegas menolak sikap dan perilaku yang melemahkan demokrasi, melanggar konstitusi,
Kelima, menuntut seluruh elemen bangsa kembali menegakkan agenda reformasi.
Rektor UII: Dwifungsi TNI Sisakan Banyak Luka
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menegaskan UII juga mengambil sikap tegas, menolak dwifungsi TNI. “Insya Allah kami di UII juga sepakat menolak dwifungsi untuk kebaikan bangsa,” bebernya.
Fathul menilai, aksi yang dilakukan UGM jadi sebuah bentuk solidaritas yang menghubungkan akal sehat untuk menyuarakan kegelisahan.
Ia mengingatkan, dwifungsi TNI atau dulu ABRI, menyisakan banyak luka dan duka. Ia berharap sisi gelap itu tidak terulang kembali.
“Ketika dwifungsi aktif, banyak yang disesali. Mulai dari supremasi militer yang implikasinya represi pada sipil, dan ada banyak kekerasan yang tidak perlu terulang. Harusnya ingatan sejarah itu membuat kita sadar bahwa pola menuju ke sana harus ditolak,” pesannya.
Fathul menambahkan, civitas akademika UII sendiri rencananya juga melakukan aksi penolakan serupa.
Harapannya gaung penolakan itu bisa semakin luas dan dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat.
Mahasiswa UGM: Mengkerdilkan Pemikiran Akademisi untuk Duduk di Jabatan Birokrasi
Penuturan lain datang dari salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM Alvin Andrean yang turut serta dalam aksi. Alvin menilai dwifungsi TNI adalah kesewenang-wenangan yang sama sekali tidak pro terhadap rakyat.
“Dengan Dwifungsi TNI, itu justru mengkerdilkan pemikiran akademisi atau ahli, yang seharusnya menduduki jabatan di birokrasi itu,” tegasnya.
Sebagai mahasiswa hukum, Alvin merasa berbagai kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintahan saat ini, sangat butuh banyak perhatian dan sorotan dari masyarakat. (tim)