Media Konvensional Vs Media Sosial

Ilustrasi

Oleh Edi Winarto
Penulis Dosen STIKOM Interstudi Jakarta, Jurnalis

Hari Pers Nasional diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari, ditetapkan oleh rejim Orde Baru di era Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 tertanggal 23 Januari 1985.

Hari Pers ini mengambil momentum bertepatan dengan ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dewan Pers kemudian menetapkan Hari Pers Nasional, dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di Ibu Kota provinsi se-Indonesia.

Tahun ini Hari Pers Nasional (HPN) 2021 diselenggarakan di DKI Jakarta sebagai pusat peringatan.

Ada sejarah yang perlu diketahui mengenai hari pers nasional yang diselenggarakan pada 9 Februari. Pada awal kemerdekaan, tepatnya pada hari Sabtu, 9 Februari 1946, dilaksanakanlah Konferensi Wartawan Pejuang Kemerdekaan Indonesia, yang melahirkan organisasi profesi kewartawanan dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Penulis punya perspektif lain. Bahwa dalam sejarah pers yang lebih ke belakang lagi, tepatnya pada tanggal 9 Februari tepatnya tahun 1745. Untuk pertama kalinya pemerintahan zaman Hindia Belanda atau Vereenigde Oost Compagnie (VOC) atau Perserikatan Dagang Hindia Timur menerbitkan ijin dan mengendalikan Surat Kabar Pertama di bumi Indonesia yakni Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnemente atau sering disingkat sebagai Bataviasche Nouvelles.

Dalam sejarahnya mengutip Wikipedia.org, Bataviasche Nouvelles adalah koran modern pertama yang terbit di Indonesia yakni pada zaman VOC sekitar tahun 1745.

Koran berbahasa Belanda ini terbit pertama kali pada 7 Agustus 1744 di Batavia (sekarang Jakarta). Berarti koran ini terbit sekitar 136 tahun setelah terbitnya Avisa Relation oder Zeitung.

Surat Kabar Pertama Di Bumi Indonesia
Surat Kabar Pertama Di Bumi Indonesia

Koran yang diterbitkan pertama ini memuat beragam berita tentang berita bisnis kapal dagang VOC, mutasi pejabat, berita pernikahan, kelahiran dan kematian. Judul dari surat kabar tersebut adalah Bataviasche Nouvelles. Koran ini diterbitkan seminggu sekali sebanyak 4 halaman yang semua isinya beritanya ditulis tangan.

Koran ini kemudian berkembang pesat dan berubah menjadi koran yang berisi kritik terhadap perbudakan di Batavia dan perilaku penguasa VOC, Tepat pada 20 Juni 1746, koran pertama ini pun menjadi yang pertama kali dibredel.

Yang menarik bagi penulis adalah pada tanggal 9 Februari 1745 menandai lahirnya perijinan pertama lembaga Surat Kabar. Koran pertama ini dapat lahir berkat izin pemerintah “liberal” Gubernur Jenderal van Imhoff, yang memberinya pula hak paten pada tanggal 9 Februari 1745.

Meskipun izin permohonan surat kabar ini diajukan pada masa pemerintahan van Imhoff tanggal 7 Agustus 1744 dan baru diberikan pada bulan Februari 1745. Jangka waktu setahun telah menunjukkan bahwa sebenarnya Imhoff enggan memberikan izin.

Artinya ada sebuah catatan sejarah bahwa dahulu kala, koran pertama di Indonesia pun harus berhadapan dengan yang namanya “perijinan” sebagai bentuk pengendalian dan pengekangan kebebasan pers dalam menyampaikan informasi.

Dan sejarah akan terus berulang. Hingga di zaman Jepang media massa dibatasi hanya media-media yang diterbitkan pemerintahan penjajahan Jepang. Kemudian di masa awal Kemerdekaan, media massa satu kata berjuang menegakkan revolusi kemerdekaan.

Dan di era Orde Baru, “budaya” mengekang media kembali dilakukan penguasa rejim saat itu dengan kemasan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Siapa awak media yang dekat dengan kalangan penguasa dan bisa menjadi anak manis maka akan dimudahkan untuk mendapatkan SIUPP. Tapi bagi media yang kritis maka akan dipersulit mendapatkan SIUPP dan bahkan dibredel.

Kehidupan media massa baru benar-benar bebas pasca reformasi 1998. Tepatnya di era pemerintahan Presiden BJ Habibie. Presiden Habibie mencabut Peraturan yang mewajibkan media massa harus mengantongi ijin berupa SIUPP. Siapapun boleh menerbitkan media massa. Maka sejak itu surat kabar terbit bak jamur di musim hujan.

Nyaris ribuan surat kabar terbit. Baik dalam bentuk Koran Harian, Mingguan, Bulanan dan berbagai jenis media. Kecuali televisi karena keterbatasan penggunaan spektrum frekuensi.

Di era pemerintahan Presiden KH Abdurahman Wahid hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kebebasan orang mendirikan media massa masih berlangsung.

Kemudian di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Dewan Pers mengeluarkan edaran agar media massa tercatat dalam bentuk “perijinan wajah baru” yang namanya Sertifikat Verifikasi Dewan Pers.

Dewan Pers memang berusaha mengendalikan ledakan media massa yang memiliki kebebasan menyampaikan informasi dan berekspresi.

Namun Dewan Pers lupa bahwa perubahan zaman yang sangat revolusioner sedang terjadi. Yakni revolusi digital yang ditandai derasnya sistem informasi kepada publik yang dilakukan oleh aplikasi platform yang sebenarnya berbasis informasi.

Justru produk-produk pers yang didefinisikan sebagai “media” oleh Dewan Pers seperti Surat kabar atau koran kini semakin ditinggalkan seiring dengan perkembangan media digital dan teknologi komunikasi.

Kini muncul media-media baru berbasis web atau platform dengan nama media online atau media digital. Tak butuh modal besar untuk melahirkan media baru ini. Orang yang ingin melahirkan media informasi cukup membeli domain dan menyewa hosting atau server sudah bisa melahirkan sebuah media. Cukup bermodalkan tak lebih dari Rp 3 juta,-.

Belum lagi derasnya arus informasi dari media sosial (Medsos). Mungkin sebagian besar praktisi, akademisi, pengamat komunikasi atau Dewan Pers masih mendefinisikan bahwa media sosial itu bukan media.

Namun penulis sejak awal tetap berpandangan dan mendefinisikan bahwa media sosial adalah juga bagian dari bentuk media massa. Apa dasar penulis mendefinisikan demikian.

Pertama, ada konten informasi dan atau berita atau apapun bentuk informasi yang disampaikan dan sangat dibutuhkan publik.

Kedua, menggunakan perangkat atau media untuk menyebarkan kepada publik dan atau penonton dan atau pembaca dan atau pendengar. Yakni jaringan internet. Jika media televisi menggunakan perangkat spektrum frekuensi. Media cetak menggunakan perangkat kertas dan distribusi, maka media sosial menggunakan perangkat internet untuk sampai ke pembaca.

Ketiga, dapat diakses publik dan menjadi referensi informasi. Media sosial sangat mudah diakses oleh publik dalam hitungan detik. Mulai dari twitter, instagram, youtube, facebook, whatsapps.

Karena Dewan Pers tak mengakui bahwa produk dari media sosial sebagai produk media atau produk pers, maka media sosial kini harus menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai regulasi yang memayunginya.

Namun jangan lupa dibandingkan dengan media massa termasuk media online yang diakui Dewan Pers, justru media massa dalam bentuk media sosial ini perkembangannya justru lebih pesat dan dahsyat. Informasi yang disebar oleh media sosial lebih cepat, deras dan kini menjadi informasi yang paling diakses publik.

Bahkan media sosial ini menjadi bentuk baru media yang kini menjadi momok yang menakutkan sejumlah kalangan. Banyak kasus terjadi bagaimana orang-orang penting menjadi korban dari menakutkannya dan tajamnya informasi dari media sosial. Mereka muncul melalui kanal youtube, akun Facebook, akun twitter, menyebar melalui Whatsapps dan berbagai ragam medsos.

Ilustrasi Menghujat Di Sosial Media (dokumen Internet).
Ilustrasi Menghujat Di Sosial Media (dokumen Internet).

Ada beberapa contoh studi kasus banyak orang menjadi “korban” dari informasi yang tersebar di media sosial. Sebagai contoh : pernah ada tokoh besar, ketua Asosiasi mengkritik dan menuntut seseorang lainnya dan menggelar jumpa pers yang menyudutkan orang tersebut.

Namun apa yang terjadi? Justru, jejak rekam digital dan catatan dosa orang atau tokoh tersebut muncul dan menyebar di media sosial bak penghakiman Malaikat di Padang Makhsyar. Dosa-dosanya dibuka bahwa ia pernah skandal di sebuah klab malam, ia pernah korupsi dan sebagainya yang menjatuhkan nama baik dan karakternya.

Namun informasi yang tersebar terkadang memang ada buktinya sehingga penyebarnya tidak terjerat pasal UU ITE. Yang jadi masalah adalah korbannya. Ia tak berdaya menghadapi arus “serangan” haters, buzzer di media sosial.

Demikian dahsyatnya media sosial hingga membuat sejumlah tokoh besar seperti pak Kwik Kian Gie ketakutan. Bahkan tokoh sebesar ibu Susi Pujiastuti pernah menjadi korbannya.

Kalau sudah informasi seperti ini terbit menyebar ke seluruh perangkat android publik diakses dan dibawa publik. Apakah kita masih tutup mata bahwa media sosial bukanlah produk pers?

Mereka tak butuh perijinan namun informasi mereka justru lebih efektif mempengaruhi persepsi publik. Media sosial dibaca dan ditonton puluhan juta pemilik android dan internet.

Mengutip kata-kata dari Bos CT Corp dan Trans TV Group Chairul Tanjung bahwa mendirikan televisi saat ini sangat murah. Cukup modal Rp 5 juta untuk membeli kamera digital sudah bisa memiliki stasiun TV. Menyiarkan apa saja dan mudah diakses publik.

Cukup membuka akun kanal di Youtube. Kasih nama apa TV terserah. Maka ribuan produk informasi dapat kita akses di ribuan akun TV penyedia informasi.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak mampu menjangkaunya dan tak mampu menerapkan perijinan kepada akun-akun TV di Youtube yang jauh lebih efektif menarik antusias penonton ketimbang stasiun televisi konvensional. Karena sifat kanal TV Youtube lebih interaktif atau impresion ketimbang TV konvensional.

Misalnya program stasiun televisi konvensional paling ditonton berapa orang? Jumlah pemirsanya bisa dihitung. Namun coba lihat di akun kanal TV Youtube. Satu kanal TV Youtube pernah ditonton hingga 5 juta pemirsa. Jika konten informasinya bagus, kanal TV Youtube bisa meraih rata-rata satu hingga dua juta penonton. Apakah ini masih dianggap bukan media massa atau bukan produk pers?

Media Sosial
Media Sosial

Lalu bagaimana informasi di Twitter justru lebih menarik dan seksi untuk diakses dan dibaca. Dijadikan referensi. Bahkan media mainstream yang “direstui” dan dibeking Dewan Pers banyak mengambil sumber informasi dari postingan di twitter dan instagram.

Sekarang banyak narasumber atau tokoh yang lebih merasa efektif menyebarkan atau memberikan informasi kepada publik menggunakan media sosial ketimbang menggunakan media konvensional, baik surat kabar, televisi atau media online. Karena melalui media sosial bisa gratis dan justru diakses jutaan pembaca dan penonton.

Kalau sudah behavior pengakses informasi di era Milenial atau era Now sudah berubah sedemikian dahsyat. Masihkan kita, baik Dewan Pers, KPI masih berkutat mengutak atik media massa konvensional tanpa lelah dengan perijinan dengan itu dengan ini.

Namun tak pernah mempedulikan media sosial yang kini sudah menjadi makhluk “raksasa” informasi yang jauh lebih diakses oleh publik dan kini dijadikan sarana tokoh dan narasumber menyampaikan informasi, dakwah, frame berpikir dan sebagainya.

Padahal jika kita masih berkutat “mengurusi” pengekangan media konvensional sebenarnya sudah ketinggalan kereta dan sudah tidak mampu beradaptasi dengan perubahan revolusi digital.

Semoga kita mulai berpikir cerdas, pro perubahan dan mampu beradaptasi dengan perkembangan digital. Agar kita tak hanya menjadi penonton dan ketika muncul masalah dalam informasi media sosial kita mampu mengatasinya.

Bukan kita tak bisa berbuat apa-apa ketika ada warga negara Indonesia harus diumbar jejak rekam pribadinya atau dibully. Hanya karena kita tak segera beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital.

Salam sehat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: