Dewan Pers Malah Seperti Departemen Penerangan Era Orba, Benar atau Stigma?

Dewan Pers bukannya Proaktif membimbing media kecil agar bisa diakui. Yang ada justru Verifikasi Media Digital atau media cetak yang ada. Tapi, malah aturan yang membuat pers kapitalis, dengan aturan dan ketentuan persyaratan yang sulit dijangkau bagi para perintis media massa yang memulai dari bawah.

Presiden Joko Widodo menghadiri Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2023 di Gedung Serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatra Utara, Kabupaten Deli Serdang, Kamis, 9 Februari 2023. Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Di tengah banjir informasi, media massa mainstream (cetak) menjadi clearing house — tempat orang mengecek informasi benar. Dimana, media cetak masih diminati karena lebih humanis, mendalam, kadang dijadikan sebagai souvenir dan dibaca kaum elit (premium). Apalagi investigasinya seru!

Apa lacur, banyak pemasang iklan bisnis, malah mengalihkan belanja iklannya ke medsos, bukan ke media digital. Padahal, media massa sudah woro-woro ikut memasuki konvergensi media.

Vlog hingga channel di TV digital dengan server pinjam atau titip ke Youtube, lebih diminati. Pemirsanya, kalau dengan tim buzzer bisa memiliki pemirsa hingga jutaan.

Seorang pakar humas mencatat, ada Youtubers, yang satu miliar video views per harinya. Ada empat juta foto per jam yang diunggah di Instagram.

Facebook menyebutkan setidaknya ada tiga miliar likes & comment yang mereka dapatkan setiap harinya dan 15 juta foto yang di-upload per jam. Arus informasim mengalir sangat deras. Facebook malah panen iklan, demikian Google.

Sekarang, publik adalah media! Dan kita, adalah jurnalis.

Bisa diartikan, masyarakat kita lebih sibuk dengan akun media sosial ketimbang menaruh perhatian pada media mainstream yang menawarkan trust dan kredibilitas.

Eng-ing-eng. Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) pernah melakukan survei internal, terhadap para pemimpin media.

Hasilnya menunjukkan, bahwa yang dianggap ancaman, bukan lagi sesama media massa, tapi kekuatan platform semacam Google, Youtube atau Facebook yang menyedot potensi belanja iklan.

Di tengah banyak media massa kesulitan membayar kesejahteraan SDM-nya dengan layak, aplikasi digital memudahkan setiap orang memiliki media massa sendiri. Perusahaan yang paling cerdas akan menggabungkan data dan algoritma dengan konten hebat.

Ekosistem industri pers memang sudah seharusnya terus ditata, baik dari sisi finansial maupun kontennya. Oleh karena itu, para pelaku di industri ini harus mampu memperbaiki segala kelemahan dan terus berinovasi.

#s.sbudirahardjo, #CEOeksekutif, #PemredMATRA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: