Dewan Pers Malah Seperti Departemen Penerangan Era Orba, Benar atau Stigma?

Dewan Pers bukannya Proaktif membimbing media kecil agar bisa diakui. Yang ada justru Verifikasi Media Digital atau media cetak yang ada. Tapi, malah aturan yang membuat pers kapitalis, dengan aturan dan ketentuan persyaratan yang sulit dijangkau bagi para perintis media massa yang memulai dari bawah.

Presiden Joko Widodo menghadiri Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2023 di Gedung Serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatra Utara, Kabupaten Deli Serdang, Kamis, 9 Februari 2023. Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Oleh S.S Budi Rahardjo
Penulis Ketua Umum Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI)

Ini yang perlu diingatkan, Jangan sampai  Dewan Pers Malah Seperti Departemen Penerangan Era Orde Baru. Kalau soal ulang tahun HPN 2023, seperti biasa, meriah.

Tapi sejatinya, bukan soal Presiden hadir atau tidak di acara itu. Jangan sampai, usai pesta, situasinya tak berubah.

Media massa di era digital masih seringkali oleh Dewan Pers membuat aturan yang mirip era jaman Orde Baru.

Dewan Pers bukannya Proaktif membimbing media yang bermodal kecil, Verifikasi Media Digital atau media cetak yang ada. Tapi, malah aturan yang membuat pers kapitalis, dengan aturan dan ketentuan persyaratan yang sulit dijangkau bagi para perintis media massa yang memulai dari bawah.

Media yang berintegritas tak masuk dalam verifikasi actual dan factual, karena tak punya modal.

Sementara itu, media massa harus bersaing memperebutkan kue iklan yang “lari” ke media sosial, blogger dan Youtuber

Jurnalisme, media dan tren teknologi sudah berlari meninggalkan hal-hal “lawas” semacam itu.

Ini perlu dicatat oleh pemerintahan Jokowi, sebelum keluarnya Perpres tentang Media Sustainability.

Ini perlu dicatat oleh pemerintahan Jokowi, sebelum keluarnya Perpres tentang Media Sustainability.

Jangan hanya, media yang sudah terverifikasi di Dewan pers yang diutungkan saja, tapi harusnya iklim media massa keseluruhan.

Media massa baik digital atau  yang cetak belum diverifikasi Dewan Pers, banyak yang menerapkan kode etik jurnalistik dengan baik. Mereka sudah layak disebut pers.

Idealnya, tugas pers mengembangkan visi dan misi yang futuristik. Melampaui jaman kekinian, memang tak mudah.

Bukan hanya tampilan dan model jurnalisme, cara bertahan mencari pemasukan untuk menyeimbangkan pengeluaran, yang terlanjur besar juga merupakan tantangan tersendiri.

Media massa melakukan strategi reposisi merek, distribusi, promosi termasuk sumber daya manusia yang disebut profesional. Realitasnya, bisnis model media di revolusi teknologi, justru ter-disrupsi dalam pemasukan pendapatan.

Semua Terjadi Dengan Kecepatan dan Kompleksitas.

Teknologi 4.0 telah mengubah manusia dalam mengkonsumsi media. Jutaan berita dan informasi masuk ke medsos, menyebar dari satu grup ke grup media lain. Tim buzzer media, yang lebih menikmati untung saat ini.

Jurnalis media digital bukan pintar di dunia jurnalistik saja, tapi harus belajar dari “misteri” SEO (Search Engine Optimization), kata kunci, hastag, dan lain-lain, agar tulisannya di-klik banyak orang.

Tulisan tersebut di posting ke grup-grup media sosial yang punya fans, banyak anggotanya. Pasalnya, ponsel pintar memberikan kenyamanan dalam melihat berita, serba gratis pula.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: