Balada Kegagalan Cinta Faida

Oleh: Hairul Ulum*

Pemerhati Sosial, Politik dan budaya (Human Responsbility)

Img 20210103 053546
Photo Hairul Ulum

PADA SAAT melihat seorang tokoh turun gunung menggalang massa dan berorasi di panggung aksi demontrasi, pasti ia seorang pemberani dan bersedia untuk menempuh jalan tak populer di mata masyarakat. Tokoh kita yang satu ini terlihat sibuk memberikan instruksi langsung pada sekelompok orang yang mendukung aksi mosi tidak percaya Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap Bupati dr Hj Faida MMR.

Dialah KH MA Saiful Ridjal Abdul Halim Shiddiq, cucu KH Muhammad Shiddiq yang melahirkan “Dinasti Politik Talangsari”. Sebuah klan kiai darah biru yang banyak melahirkan para tokoh pergerakan nasional dari Jember. Sebut saja KH Mahfudz Shiddiq (Ketua Umum PBNU) dan KH Achmad Shiddiq (Rois Aam PBNU) adalah pamandanya yang menjadi motor penggerakan NU di masa awal pendiriannya, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.

Gus Saif panggilan akrabnya, lahir Jember, 28 Juli 1955. Putra lelaki dari KH Abdul Halim Shiddiq dan Nyai Muzayyanah. Ia adalah mantan Ketua NU Cabang Bondowoso yang menjalankan tugas dan fungsi jam’iyah ala Non Goverment Organization (NGO). Di sekelilingnya, banyak aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan bahkan ia melakukan advokasi dan fasilitasi dalam mewujudkan good and clean goverment (pemerintah yang baik dan bersih) di Kabupaten produsen tape tersebut.

Sampai saat ini, hubungan Gus Saif dengan aktivis LSM sangatlah dekat. Pondok Pesantren Ashri acapkali dijadikan pusat gerakan antikorupsi yang concern terhadap kasus korupsi yang menyeruak di birokrasi maupun parlemen.

Abdul Rahman, penulis buku: “Guru Ngaji. Masyarakat dan Pemimpin Yang Baik (Menuju Reformasi Kultural)” menyebut Gus Saif sebagai tokoh non compromize (tidak kompromi) terhadap praktek korupsi apapun, hatta yang menjerat sanak familinya sendiri. Integritasnya sudah teruji sebagai kiai penggiat antikorupsi di ujung timur Pulau Jawa.

Oleh karena itu, Gus Saif bukan hanya tampil di mimbar-mimbar agama, bukan hanya dikenal sebagai penceramah di dalam maupun luar Jember, akan tetapi dianggap sebagai sesepuh yang akomodatif dan loyal terhadap aktivis LSM. Semua itu dalam rangka menjaga spirit keagamaan dan kebangsaan dalam gerakan parlemen jalanan.

Gus Saif menyadari gerakan parlemen jalanan merupakan perwujudan civil society yang beresiko berhadapan-hadapan dan berlawanan dengan negara. Sebab, sejatinya, dalam konsep Thomas Paine, civil society itu merupakan gerakan perlawanan terhadap lembaga negara. Demikian pula dalam konsep Alexis de Tocqueville, civil society sebagai gerakan penyeimbang kekuatan negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: