Resolusi Gerakan Penghapusan Kekerasan Seksual 2022

Ilustrasi Kekerasan Seksual (Koransulindo)

Oleh: Mas Uliatul Hikmah (Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPC GMNI Surabaya)

foto
foto

Berakhir sudah sebuah buku perjalanan yang berjudul 2021. Ada berbagai macam cara dan refleksi dalam merayakan tahun baru. Salah satunya adalah melakukan evaluasi diri kemudian membuat Resolusi untuk tahun selanjutnya, tahun 2022.

Tahun 2022 menandai banyak hal perjalanan Indonesia nanti salah satunya 10 tahun berlalu RUU PKS yang diinisiasi pertama kali oleh Komnas Perempuan. Hal ini ditengarai dengan situasi kekerasan seksual yang semakin genting.

Pandemi dan Peningkatan Kasus kekerasan Seksual Tahun 2021

Pandemi yang muncul di Indonesia sejak Maret 2020 juga menandai bahwa kita telah hidup bersama dengan Virus Covid-19 selama hampir 2 tahun. Itu pula menjadi penyebab krisis ekonomi yang tentu saja berimbas pada meningkatnya angka kasus kekerasan seksual. Dalam catatan Komnas Perempuan bulan Januari hingga Oktober 2021, Angka pelaporan kekerasan seksual meningkat drastis sebanyak dua kali lipat mencapai 4.500 pelapor. Angka tersebut mungkin bisa menjadi sangat fantastis apabila digabungkan dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporakan. Maka dengan kata lain, kita sama-sama tahu bahwa sesungguhnya Indonesia telah mengalami Darurat Kekerasan Seksual.

Pandemi juga membentuk suatu percepatan baru. Ia mengkatalisasi perkembangan teknologi di era Globalisasi hingga melaju kencang tanpa Rem. Seperti dua sisi mata uang, dampak positif dan negatifnya saling berdampingan. Namun sialnya Indonesia belum mempunyai persiapan yang memadai. Ini dapat kita lihat dalam penggunaan Sosial Media. Akibatnya marak terjadi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Hal ini menjadi ancaman bagi siapa saja yang lemah terutama perempuan dan anak dalam kehidupan sehari-hari.

Mendapati kenyataan tersebut, sepertinya telah menjadi rahasia umum bahwa berkehidupan dengan aman dan nyaman adalah hal yang sulit didapatkan. Buktinya, KBGO di tahun 2021 mengalami peningkatan tajam hingga 300% atau meningkat sebanyak 3 kali lipat berdasarkan Rilis Pers SAFEnet 2021. Angka tersebut bukan hanya angka belaka, setiap 1 orangnya mengalami pengalaman buruk yang bahkan dapat menghancurkan hidup mereka. Sangat IRONI!

Kabar Baik bak Oase di Tengah Gurun Kekerasan Seksual

Setelah mendapati berbagai angka yang cukup memilukan, Indonesia masih berbaik hati memberikan kabar baik. Kabar tersebut seperti Oase di tengah gurun pasir kekerasan seksual dan ketidak-adilan gender. Setidaknya sedikit memberikan angin sejuk padahal kita hampir saja mati terkoyak fakta dan data. Oase ini adalah inisiatif pemerintah berupa Peraturan untuk mencegah kekerasan seksual dan komitmen-komitmennya yang berceceran di pemberitaan media.

Ada dua hal baik yang saya dapati di tahun 2021 yaitu kembalinya RUU PKS di prioritas Prolegnas pada Januari bulan Januari. Padahal naskah akademik RUU PKS telah diusulkan Komnas Perempuan sejak tahun 2012 dan baru diminta DPR tahun 2016. Namun sayangnya, di kala kekerasan seksual mengalami peningkatan berkali lipat, RUU PKS dikeluarkan di prioritas Prolegnas tahun 2020. Sebuah tarik ulur yang sangat panjang.

Hal baik lain adalah ditandantanganinya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Tapi tentu saja seperti yang telah kita duga, Permendikbudristek PPKS dalam peluncurannya mengalami nasib yang tak jauh beda dengan RUU PKS, menuai pro dan kontra. Sayangnya Oase kadang-kadang hanya menjadi fatamorgana. Seperti tak memberi celah untuk berleha-leha, media kebanjiran kasus-kasus kekerasan seksual yang di antaranya berada di ranah pendidikan.

Catatan Hitam Januari-Desember

Dalam upaya membuat sebuah pengingat zaman, maka saya berusahan untuk membuat sebuah kaleidoskop atau yang lebih tepat disebut dengan catatan hitam tahun 2021. Catatan hitam tersebut berisi berita-berita duka yang dapat saya kumpulkan sejak Januari hingga Desember, berikut ini:

Januari 2021 merupakan awal tahun yang dilalui dengan penuh harap bagi Masyrakat Indonesia. Harapan-harapan agar segera hilangnya Pandemic Covid-19 dari muka bumi dan berakhrinya krisis ekonomi. Alih-alih menjadi harapan baru, kasus-kasus Kekerasan Seksual terkuak. Kepiluan ini dialami oleh seorang difabel yang diperkosa beramai-ramai (Gang Rape) di Sulawesi Selatan. Penyintas kemudian melaporkannya ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Pada bulan yang sama, seorang remaja berusia 16 tahun mendapat kekerasasn seksual dari kakek, ayah, dan pamannya hingga hamil 4 bulan. Kemudian kasus ini dilaporkan oleh ibu kandungnya.

Juni 2021, pelecehan terjadi di ranah pendidikan. Sebanyak 14 anak menjadi korban kekerasan seksual hingga mengalami trauma dan ketakutan. Peristiwa tersebut dilakukan oleh pemilik SMA Selamat Pagi Indonesia di Batu, Jawa Timur.

Kasus lain dilakukan oleh Gofar Hilman setelah korban membuat utas di twitter terkait pelecehan yang ia terima yaitu dipeluk erat dan diraba-raba dalam suatu acara.

September 2021, dunia maya dikejutkan dengan sebuah utas yang ditulis oleh salah satu pegawai di badan kelengkapan Negara yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Korban mengalami perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan kerja bahkan sejak 2012. Kasus ini membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan pemerintah dan badan yang berwenang. Pasalnya, korban sudah melaporkan ke kepolisian sejak tahun 2019 sebanyak dua kali namun tak juga mendapatkan hasil.

Oktober 2021, tak juga cukup dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang telah terjadi. Cerita pilu terjadi pada tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Mereka dicabuli oleh ayah kandungnya sendiri. Sama seperti nasib kasus-kasus sebelumnya, kasus ini telah dilaporkan ke kepolisian sejak tahun 2019 namun ditutup dengan alasan kurangnya bukti. Sejak itu trending sebuah tagar berbunyi #PercumaLaporPolisi. Setelah menjadi viral di Sosial Media karena diungkapkan oleh salah satu Media karena mendapatkan atensi dan kemarahan masyarakat Indonesia, barulah kasus ini mendapat tindak lanjut namun dalam prosesnya tetap saja mendapati halangan dan tidak berjalan mulus.

November 2021 menjadi awal mula munculnya kasus kekerasan seksual di Kampus. Kasus ini bak jamur di musim hujan, terungkap dari kampus satu ke kampus lain. Munculnya kasus-kasus ini ke permukaan setelah disahkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) oleh Nadim Makariem. Sehingga banyak korban yang mulai berani bersuara karena merasa mendapatkan kepastian hukum di Perguruan Tinggi.

Beberapa nama perguruan tinggi menjadi sorotan masyarakat yaitu UNRI, UNSRI, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Negeri Makasar, Universitas Negeri Jakarta dan lain-lain. Ranah pendidikan yang seharusnya melindungi peserta didik dan menjamin keamanan dalam proses belajar mengajar ternyata menjadi sebuah mimpi buruk bagi para penyintas. Kasus-kasus yang terjadi kebanyakan dilakukan oleh Dosen kepada Mahasiswa dengan memanfaatkan relasi kuasa.

Desember 2021, Kabar Buruk masih terus dan terus saja bermunculan seperti tiada habisnya. Kali ini menimpa seorang perempuan yang memilih untuk bunuh diri di samping makam ayahnya. Ia diperkosa oleh kekasihnya, seorang polisi dan ia dipaksa untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali pada Maret 2020 dan Agustus 2021.

Tak cukup dengan itu, kabar buruk tak pernah berhenti bergumam. Di penghujung tahun kembali muncul ke permukaan kasus Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren yang sejatinya haruslah menjadi tempat yang penuh moral dan aman. Belasan Santri yang rata-rata masih di bawah umur menjadi korban sejak tahun 2016. Bahkan ada yang sampai melahirkan hingga tercatat ada 9 bayi yang lahir. Sungguh penghujung tahun yang Ironi dan membuat marah.

Kasus kekerasan seksual seperti Fenomena gunung es. Namun pemerintah tak juga meresmikan RUU TPKS. RUU TPKS yang bahkan telah direduksi substansinya dan diubah namanya dari RUU PKS masih harus bernasib sial saat rapat paripurna dengan alasan terdapat masalah teknis. Tentu saja saya tidak habis pikir karena dengan berbagai kisah-kisah pilu yang telah saya tulis di atas, yang bahkan tidak ada seujung kuku pun, ternyata tidak dianggap mendesak oleh pemerintah.

Tugas Rumah Organisasi Gerakan dan kita semua

Lantas di penghujung tahun 2021 dan awal tahun 2020, kita masih mempunyai banyak Tugas Rumah. Memang sudah sepatutnya kita bergotong royong demi mewujudkan cita-cita yang sama yaitu terwujudnya Negara yang Merdeka dari Kekerasan Seksual. Maka, tugas rumah yang perlu kita selesaikan adalah
1. Mengawal disahkannya RUU TPKS di sidang Paripurna awal tahun 2022
2. Turut melakukan pencegahan Kekerasan Seksual dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kekerasan seksual
3. Menangani dan Menuntaskan kasus-kasus kekerasan seksual di seluruh wilayah Indonesia
4. Membangun sistem perlindungan dan pendampingan yang tepat untuk para korban
5. Menggunakan perspektif berkeadilan gender dalam setiap kegiatan yang berlandaskan pembangunan Negara untuk mengedepankan hak asasi manusia.

Atas nama kemanusiaan, keberpihakan pada korban dan melakukan pencegahan adalah point penting dalam memerangi Kekerasan Seksual. Kasus Kekerasan Seksual memang banyak terjadi pada perempuan dan anak, namun tak ubahnya juga dapat terjadi pada laki-laki. Karena siapapun bisa menjadi korban.

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, itu tandanya Indonesia mengalami krisis kemanusiaan. Maka Resolusi gerakan 2022 adalah hal-hal yang perlu kita capai untuk menciptakan Indonesia yang baik di masa mendatang.

Merdeka Rakyat Indonesia!
Merdeka dari Kekerasan Seksual!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: