Iptek  

Prof Syarifuddin: Perma 1 Tahun 2020 Perkecil Disparitas Putusan Hakim

muhammad syarifuddin guru besar universitas diponegoro foto mi

EDITOR.ID, Jakarta,- Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2021 merupakan representasi dan implementasi dari pendekatan heuristika hukum. Pasalnya, Perma Nomor 1 Tahun 2020 adalah wujud dari seni menyelesaikan permasalahan disparitas putusan yang sekian lama belum teratasi.

Mengapa kemudian dengan Perma? Karena proses legislasi di dewan memerlukan waktu lama sementara dalam praktik dibutuhkan kerangka normatif yang cepat dan operasional.

Demikian paparan Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan judul: PEMBARUAN SISTEM PEMIDANAAN DALAM PRAKTIK PERADILAN MODERN: Pendekatan Heuristika Hukum.

Mengapa Perma Nomor 1 Tahun 2020 bisa jadi implementasi dari pendekatan heuristika hukum?

“Pertama, sebagian kecil putusan yang ada menunjukkan adanya disparitas dalam pemidanaan tipikor. Terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 merupakan penormaan dari pandangan agar setiap penjatuhan pidana dilakukan dengan memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan,” tegas Prof Dr Syarifuddin dihadapan para Guru Besar.

“Penormaan inilah yang dimaksud dalam heuristika hukum,” imbuhnya.

Kedua, menurut Prof Syarifuddin, Perma Nomor 1 Tahun 2020 memberi kerangka kerja yang memudahkan bagi para Hakim dalam mengadili perkara tipikor. Sehingga dapat menetapkan berat ringannya pemidanaan (paling berat, berat, sedang, ringan).

Hal ini dilakukan berdasar pertimbangan-pertimbangan yang lengkap seperti terbukti tidaknya unsur pidana; kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan; rentang pemidanaan, serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan.

“Kerangka kerja ini yang dimaksud sebagai penegakan dalam perspektif heuristika hukum,” tegasnya.

“Gagasan heuristika hukum saya ajukan sebagai sebuah pendekatan baru dalam memahami hukum, baik pada tataran formulasi (penormaan), penegakan, maupun pembaruan hukum,” ujar Prof Syarifuddin.

Gagasan ini terinspirasi dari konsepsi heuristika yang digunakan dalam studi-studi ilmu sosial. Clark Moustakas, Psikolog Humanis Amerika, memperkenalkan model berpikir heuristik dalam penelitian eksploratif. Heuristika termasuk dalam studi yang bersifat eksploratif terhadap satu permasalahan. Studi demikian jamak dalam riset-riset bidang sosial.

Pada 1985, Moustakas bersama Bruce Douglas mengembangkan model proses studi heuristik yang mencakup tiga tahapan.

Pertama, tahap immersion yang merupakan tahap mengajukan pertanyaan, masalah, atau tema yang akan dibahas. Kedua, tahap acquisition yang merupakan tahapan pengumpulan data hal pokok yang akan diteliti.

Ketiga, tahap realization yang merupakan sintesis pelbagai premis untuk mencapai kesimpulan tertentu.

Pada tahun 1990, Moustakas mengembangkan model tersebut secara lebih elaboratif hingga menjadi tujuh tahapan dalam penelitian dengan pendekatan heuristik. Moustakas semula menggunakan kata heuristik untuk menjelaskan proses pencarian pengetahuan secara mendalam untuk menemukan hakikat dan makna suatu pengalaman.

Heuristik selanjutnya berkembang menjadi metode reflektif eksploratif. Inilah mengapa dalam heuristik, pengalaman pribadi bersanding dengan pengalaman eksternal.

Keduanya mengalami proses dialektika yang intensif sehingga memunculkan suatu makna baru yang lebih lengkap.

Hukum dalam arti perundang-undangan bersifat statis sementara hukum sebagai entitas sosial bersifat dinamis. Dua keadaan ini tampak kontradiktif, namun sesungguhnya dapat dipadupadankan dengan menyeleksi sisi-sisi yang masih relevan sekaligus mengembangkan pemahaman baru yang dapat mendekatkan apa yang kita sebut sebagai das sollen dan das sein.

“Dasar pemikiran ini yang mendorong saya untuk menelaah secara sistematis bagaimana proses penormaan yang menghasilkan Perma pemidanaan terwujud,” paparnya.

Secara makro, proses legislasi juga demikian. Namun untuk konteks Perma, cakupannya lebih spesifik kepada upaya mengisi kekosongan norma hukum yang bersifat praktis dan mendesak untuk segera diimplementasikan.

“Dari pemaparan tersebut, saya menyimpulkan heuristika hukum sebagai paradigma terhadap hukum yang melihat hukum sebagai entitas bersegi banyak, mencakup aspek hukum dan non hukum yang memengaruhi proses penormaan, penegakan, dan pembaruan hukum guna mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.

Menurut Prof Syarifuddin, Perma Nomor 1 Tahun 2020 menentukan standardisasi pemidanaan (paling berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan) dan ini dapat menjadi pedoman bagi Hakim dalam memutus perkara.

“Meskipun demikian, Hakim tetap memiliki kewenangan dan kemandirian untuk dapat menentukan berat ringannya pidana menurut hati nuraninya jika apa yang termuat dalam pedoman tersebut belum mengakomodir fakta penting lain yang terungkap di persidangan,” papar Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

“Ini merupakan pembaruan dalam perspektif heuristika hukum,” imbuhnya.

Tiga siklus hukum, mencakup tiga tahapan, yaitu penormaan, penegakan, dan pembaruan. Tiga tahapan ini saling berkaitan satu sama lain dengan pembaruan sebagai tahapan yang dapat mengubah bentuk dan isi hukum sesuai dengan kebutuhan yang ada pada saat itu.

Sedangkan tujuan hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan sebesar-besar bagi seluruh lapisan masyarakat.

“Hukum tidak boleh hanya berkutat pada kekakuan penerapan norma namun harus lebih mengedepankan upaya mewujudkan keadilan dan kemanfaatan sebagai dealitas hukum,” paparnya.

Lebih lanjut Prof Syarifuddin menilai sebagai sebuah paradigma terhadap hukum, heuristika hukum membagi pendekatan terhadap hukum pada dua arah utama, yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro.

“Pendekatan makro hukum menekankan telaah terhadap satu atau beberapa bidang hukum terkait secara umum. Arahnya adalah lahirnya suatu sistem atau tatanan umum yang menjadi panduan dalam penerapan hukum. sementara pendekatan mikro hukum menekankan telaah terhadap satu aspek dalam bidang hukum tertentu yang bersifat praktis-operasional,” ujarnya.

Menurut Prof Syarifuddin, setiap hakim, hukum, dan keadilan, ibarat tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

“Hakim memegang peranan penting dalam menyelaraskan hukum dan keadilan tersebut. Menafsirkan aturan, membentuk norma baru, mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima dan memutus perkara,” tuturnya.

Menjatuhkan pidana, menurut Prof Syarifuddin, merupakan kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif Hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Eksistensi Hakim dalam penegakan hukum dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dalam mengadili perkara. Pengalaman tersebut membentuk karakter, wawasan, dan kepekaan dalam menegakkan hukum dan keadilan pada setiap perkara yang diadili.

Permasalahan yang muncul dalam praktik diantaranya terjadinya disparitas pemidanaan, khususnya putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum sama.

Adanya kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas dalam pemidanaan perkara korupsi memberi gambaran masih adanya disparitas pemidanaan, diantaranya
Salah satu yang menjadi sebab adalah sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan kasus korupsi.

Disparitas tersebut menjadi permasalahan ketika terjadi perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara yang serupa, sehingga dipandang menimbulkan ketidakadilan.

Ada pro dan kontra di masyarakat, khususnya dari pelaku, korban dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penegakan hukum. Masyarakat pada umumnya subjektif dalam memaknai ?keadilan?.

“Disparitas ini dianggap turut bertanggung jawab terhadap lahirnya ketidakadilan, sehingga dikhawatirkan muncul sikap skeptis terhadap kinerja aparat penegak hukum serta penghargaan orang terhadap hukum menjadi rendah,” katanya.

Tugas dan profesi hakim tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai agama yang membentuk karakter, sikap, dan tata laku yang mengandung kearifan dan kebijaksanaan.

Keadilan harus ditegakkan secara profesional dan proporsional yang ditakar oleh kelembutan perasaan, yang akan muncul melalui hati nurani dari orang yang dekat dengan Tuhannya melalui ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya.

Dalam penjatuhan pidana, Hakim dituntut untuk mempertimbangkan secara lengkap fakta hukum. Hakim harus memiliki kemandirian dalam menjatuhkan putusan, karena kemandirian merupakan pilar utama dalam fungsi kekuasaan kehakiman.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa disparitas menimbulkan ketidakadilan, sehingga harus ada mekanisme yang dapat meminimalisir tingkat disparitas tanpa harus menggerus kemandirian hakim.

“Saya mencoba mengambil pemikiran dari perspektif yang berbeda, dengan mencoba mengoreksi problematika atas ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya disparitas pemidanaan, tanpa harus melukai independensi hakim,” kata pria kelahiran Batu Raja ini.

Hakim memiliki kewajiban untuk menguraikan tentang apa yang menjadi alasan dalam pengambilan keputusan, termasuk menggambarkan tahapan dan langkah-langkah yang dilalui sehingga pada akhirnya seorang hakim menjatuhkan putusan.

“Masyarakat pencari keadilan berhak untuk mengerti apa yang menjadi alasan dan argumentasi dalam putusan hakim, sehingga perkara tersebut diputus seperti itu,” tutur ayah dua anak ini.

Semakin dapat dipahami alasan dari sebuah putusan, maka semakin tinggi nilai keadilan yang dapat dirasakan.

Hakim dalam menjatuhkan pidana melalui dua tahapan, dalam teori dikenal dengan proses dua fase (twice phase process theory). Pertama, hakim harus menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana atau tidak.

Kedua, jika terbukti bersalah, selanjutnya hakim harus menentukan ukuran pidana yang adil bagi terdakwa. Dua bentuk pekerjaan tersebut memiliki metode kerja yang berbeda, ketika hakim mempertimbangkan kesalahan terdakwa metode kerjanya adalah dengan berpikir dan menganalisis, sehingga hasil akhirnya berupa kesimpulan yang bersifat objektif.

Sedangkan pada saat menentukan ukuran pidana, metode kerjanya adalah kontemplasi karena ukuran pidana bertumpu pada nilai kepantasan yang bersifat subjektif.

Salah satu upaya untuk memperkecil tingkat disparitas pemidanaan dalam tindak pidana korupsi, khususnya penerapan Pasal 2 dan 3 adalah dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang?Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perma Tipikor).

Sebelum Perma Tipikor disahkan, Mahkamah Agung melihat pentingnya memperbarui model pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi (tipikor) untuk setidaknya memberi pedoman umum dan/atau standar bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana.

Sistem pemidanaan terhadap tipikor diharapkan dapat memberi kepastian dalam penerapan hukum yang pada akhirnya juga dapat mendorong terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi negara dan masyarakat.

Sejak disahkannya UU Tipikor hingga sebelum terbitnya Perma Tipikor muncul persoalan terkait dengan disparitas pemidanaan meskipun hanya sebagian kecil yang tidak sejalan idealitas hukum.

Saat hampir bersamaan, publik menghendaki sistem peradilan pidana mampu menciptakan pemidanaan yang ajeg terhadap para pelaku tipikor.

Selain dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian dalam penegakan hukum, publik juga menghendaki ada efek jera dari penerapan pemidanaan tersebut. Inilah yang sering kita istilahkan sebagai gap antara das sollen dan das sein.

Pembaruan sistem pemidanaan dalam praktik peradilan modern dimaksudkan untuk meminimalisir disparitas dalam pemidanaan namun tidak mengurangi kemandirian Hakim. Dalam perspektif heuristika hukum, lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 telah menyelaraskan pelbagai aspek sistem pemidanaan dalam upaya mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Untuk mendukung pembaruan peradilan menuju peradilan modern, lembaga peradilan harus mengimplementasikan teknologi informasi dalam administrasi dan persidangan perkara dengan tetap memerhatikan ketentuan yang berlaku dalam hukum acara.

Teori heuristika hukum dapat dijadikan sebagai pendekatan baru yang melengkapi teori-teori hukum yang telah ada dalam pengembangan studi dan kebijakan hukum, tidak hanya dalam bidang hukum pidana, namun juga pada bidang hukum lain.

Sistem hukum mencakup banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Karena itu, penormaan, penegakan, dan pembaruan hukum harus melibatkan pemangku kepentingan tersebut.

Prof Syarifuddin menitip pesan kepada sejawatnya hakim di seluruh Indonesia

“Saya berpesan bahwa dalam memutus perkara janganlah hanya terpaku pada aturan normatifnya saja tetapi haruslah berpikir secara holistik dan progresif dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan yang sejati,” pesannya.

“Junjunglah tinggi hak asasi manusia. Ketahuilah bahwa hukum itu adalah untuk manusia bukan manusia untuk hukum,” pungkasnya. (tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: