Kebun Sawit dan Tambang Batu Bara Penyebab Banjir!

Dr Audrey Tangkudung Msi

EDITOR.ID, Jakarta,- Punahnya hutan alam ratusan hektar akibat “digusur” perluasan perkebunan sawit dan tambang batu bara diduga menjadi salah satu penyebab terpenting munculnya bencana banjir di sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan.

Hilangnya hutan alam akibat penambangan batu bara dan perluasan kebun sawit di Kalsel inilah yang menjadi sorotan pemerhati Lingkungan Hidup Dr Audrey Tangkudung.

“Air hujan tak mampu terserap ke dalam tanah, karena hutan yang menjadi penyerap air telah berkurang sangat signifikan berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit yang kurang mampu menyerap air,” ujar Dr Audrey Tangkudung di Jakarta, Kamis (21/1/2021)

Akibatnya wilayah Kalimantan Selatan mengalami banjir besar dan merata di hampir sebagian besar kabupaten, dan banjir ini terburuk yang terjadi dalam 50 tahun terakhir.

Audrey tak menyalahkan tingginya intensitas hujan sebagai penyebab banjir. Karena di Kalimantan hujan sudah hal yang lumrah. Namun hujan kali ini tak mampu diserap dan ditampung ke dalam tanah akibat hutan digunduli.

“Penebangan hutan menjadi lahan sawit merusak ekosistem hutan,” ujar salah satu Doktor lingkungan Universitas Indonesia (UI) ini

Banjir terjadi karena eksploitasi berlebihan perusahaan sehingga alam rusak. ?Ekosistemnya memang dirusak oleh perizinan tambang dan sawit. Kawasan-kawasan yang punya fungsi ekologi terganggu, semisal kawasan gambut, hulu, badan sungai, dan kawasan karst,” paparnya.

Audrey menyarankan pemerintah memeriksa ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan mengaudit seluruh perizinan industri ekstraktif dan menyusun skema pembangunan yang mengedepankan keselamatan warga, serta tidak gagap dalam melakukan mitigasi bencana.

Industri kelapa sawit di Indonesia memang menjadi penyebab utama deforestasi, emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Secara jangka panjang tanah rusak karena lebun sawit menyerap air sangat banyak.

“Tanah kering dan gersang di sekitarnya, Deforestasi istilahnya, jelas hilang keanekaragaman hayati karena semua pohon sawit, sama dengan wanita disuruh pakai kerudung semuanya,” paparnya.

Menurutnya banjir tak bakal terjadi jika hutan sekunder dan hutan primer yang fungsinya menyerap air tidak tergusur tambang dan perkebunan sawit.

Karena dampak dari banjir telah menyusahkan ratusan ribu orang di sepuluh kota/kabupaten menjadi korban banjir Kalsel.

Mengutip data laporan The Conversation hutan alam Indonesia yang diubah menjadi lahan kelapa sawit setiap tahunnya mencapai 243.857 hektare. Sangat mengejutkan dan sungguh sebuah angka yang sangat fantastis merusak ekosistem hutan alam.

Jika dibandingkan dengan luas ibu kota, kira-kira setiap tahunnya ada hutan seluas empat kali DKI Jakarta yang digantikan oleh perkebunan kelapa sawit.

Angka ini didasarkan pada data perubahan kawasan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sejak tahun 1990 hingga 2018 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sayangnya, perkebunan kelapa sawit kini menjadi salah satu motor ekspor Indonesia, apalagi di tengah wacana energi biodiesel yang dianggap lebih ramah lingkungan.

Produksi kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Misal pada 2012, Indonesia baru memproduksi 26 juta ton sawit. Dua tahun berselang, produksinya berlipat ganda menjadi 46 juta ton.

Dalam luas penggunaan lahan, kelapa sawit dinilai jauh lebih efisien untuk pengembangan energi biodiesel ketimbang tanaman lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, dan kanola.

Inilah yang menjadi argumen para praktisi industri kelapa sawit untuk terus memperluas perkebunannya.

Namun, sebuah laporan dari Uni Eropa mengeluarkan kesimpulan yang berbeda. Mereka menyebut kelapa sawit memiliki dampak deforestasi yang jauh lebih tinggi ketimbang bahan bakar nabati lainnya.

Pasalnya, dampak deforestasi dari setiap jenis bahan bakar nabati berbeda-beda sehingga kelapa sawit tidak bisa seutuhnya dianggap efisien.

Bahkan, jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil, bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit justru memiliki emisi karbon yang lebih banyak dan bisa menyebabkan efek rumah kaca yang lebih parah.

Pengubahan hutan alam juga berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon. Pada 2014, lebih dari setengah emisi karbon Indonesia berasal dari perusakan hutan dan perubahan penggunaan lahan.

Di Kalimantan, 50 persen dari deforestasi atau penggundulan hutan yang terjadi sepanjang 2005-2015 terkait dengan pengembangan kelapa sawit.

Sebagaimana dilansir dari PikiranRakyat.com, tiga dari sepuluh kabupaten yang terdampak banjir Kalsel sebenarnya sudah tidak memiliki hutan alam sama sekali. Tidak semuanya digantikan oleh perkebunan sawit. Kabupaten Hulu Sungai Tengah malah kebanyakan didominasi oleh kebun buah.

Namun, ada dua kabupaten yang jelas-jelas menggantikan kebanyakan hutan alamnya menjadi lahan kelapa sawit, yakni Kabupaten Banjar dan Kabupaten Balangan. (tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: