Oleh : Dr Anang Iskandar
EDITOR.ID,- Negara butuh Ahli Hukum Narkotika untuk membuat UU narkotika agar dapat digunakan menanggulangi masalah Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN). Selama ini UU narkotika yang berlaku di Indonesia dirancang dan dibuat atas usul penegak hukum pidana, disetujui oleh Pemerintah dan DPR yang mayoritas ahli hukum pidana.
Akibatnya UU Narkotika yang berlaku di Indonesia seperti UU Pidana, padahal UU narkotika itu bukan UU pidana, bukan pula UU Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika.
Ingat ! UU narkotika bersumber pada Konvensi Internasional yang diratifikasi dengan UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika,1961 beserta protokol yang merubahnya dan UU no 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988. Kedua UU tersebut mengatur tentang alternatif/pengganti hukuman bagi kejahatan narkotika.
Indonesia miskin Ahli Hukum Narkotika, karena hukum narkotika tidak diajarkan sebagai mata kuliah hukum di Fakultas Hukum di seluruh Universitas di Indonesia dan hingga hari ini Indonesia tidak memiliki seorang Guru Besar Hukum Narkotika. tapi kaya Ahli Hukum Pidana, Ahli Hukum Perdata demikian Hukum Tata Usaha Negara.
Ironi tersebut menyebabkan proses penegakan hukum narkotika khususnya proses pengadilan narkotika menggunakan hukum pidana (KUHAP) dan hukumannya menggunakan hukuman pidana (KUHP) dengan pemenjaraannya. Oleh karena itu persoalan narkotika bagai hilang satu tumbuh seribu dan lapas over kapasitas.
UU narkotika adalah UU khusus yang berlaku di Indonesia dengan tujuan mencegah, melindungi dan penyelamatkan bangsa indonesia dari penyalahgunaan narkotika dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4). Jadi aneh ! Tujuannya diselamatkan dan dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi tapi faktanya penegak hukum narkotika menahan dan hakim memenjarakan.