Harta Karun Dirampas Belanda 1894 Kini Kembali Pulang – Mampukah Indonesia Menjaganya?

Kembalinya harta karun milik Kerajaan Mataram Lombok yang dijarah oleh Kolonial Belanda secara tidak sah mereka merampasnya saat menginvasi pada tahun 1894, kini dikembalikan ke pangkuan Republik Indonesia - Mampukah Indonesia menjaganya?

Mengamankan harta bernilai sejarah

Benda pusaka yang masih tersisa di tangan warga Lombok bisa dihitung dengan jari.

Barang-barang berharga memiliki nilai sejarah booming di era 90-an semarak berpindah tangan.

Ada yang menjadi pajangan di ruang dalam rumah-rumah mewah berupa keris hingga gamelan dari penginang hingga kelewang. Satu demi satu dijual pemiliknya hingga kini mungkin nyaris tak tersisa.

Kurang dukungan kurikulum sekolah

Tak hanya benda-benda pusaka, artefak lainnya pun kini tinggal cerita, pusaka-pusaka warisan para leluhur seperti naskah kuno terukir di lontar hingga kini nyaris kehilangan makna.

Lontar-lontar buah karya leluhur bangsa ini mulai tersingkirkan karena sekolah-sekolah tak mempedulikannya — kalau melihat dari kurikulum tak ada mata pelajaran membaca lontar — untuk mengajarkannke generasi berikutnya — bagaimana membaca dan mengamalkannya.

Coba tanyakan kepada generasi milenial — seberapa banyak yang masih bisa membaca ha-na-ca-ra-ka?  Apakah mereka bisa membaca Kawi dan Sansekerta?

 Atau yang lebih rumit lagi adakah yang masih  membaca Warige, mengukur rasi bintang untuk menerka kapan musim penghujan  agar bisa mulai bercocok tanam secara mandiri?

Kurikulum mata pelajaran sejarah tak mengajarkan secara mendetail tentang hal itu.

Menjadi wajar bangsa Indonesia ini was-was. Bahwa Belanda memulangkan harta karun milik Kerajaan Mataram Lombok bukan semata-mata karena alasan etis.

Pertimbangan lain dari Belanda

Boleh jadi Belanda mengaku salah karena pernah menjarah dan menyimpan harta hingga terjadi pertumpahan darah. Namun sesungguhnya semata-mata bukanlah hal itu.

Dan Belanda telah menyadari menyimpan harta karun milik Kerajaan Mataram Lombok pun telah banyak mengeluarkan modal yang tidak sedikit jumlahnya.

Misalnya, Museum Nusantara di Delft  pada 2015 menyimpan 30 ribu benda bersejarah dari Indonesia — kemudian Museum tersebut ditutup dengan alasan pemerintah setempat tak sanggup lagi bisa menanggung subsidi biaya pengelolaan museum yang semakin mahal.

Maka semenjak itu Pemerintah Belanda menawarkan pengembalian ke sejumlah bekas jajahannya ke Indonesia.

Pertanyaannya jika Belanda saja bisa kewalahan membiayai penyimpanan benda-benda berharga ini, bagaimana dengan kita Indonesia?

Terlebih berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi, museum-museum di Indonesia kurang diminati karena jarang pengunjungnya.

Keamanan untuk mengawasi benda-benda bersejarah di museum terbilang rendah, sehingga membuka celah masuk para penadah sindikat barang-barang berharga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: