Akar Pemikiran Pesantren dan Terorisme

Dominasi fiqh dalam membentuk orientasi pemikiran keagamaan pesantren berdasarkan pada ajakan imam Syafi’i; “marilah kita berdebat tentang soal-soal yang lalau kita kalah, tidak sampai jatuh pada kekafiran (fiqh), tetapi jauhilah memperdebatkan soal dalam suatu bidang ilmu yang kalau kita kalah, malah terperosok dalam kekufuran (ilmu kalam)”.

Disamping itu, pemikiran fiqh ini juga dianggap memberikan justifikasi yang pasti terhadap berbagai persoalan yang berkembang dan dihadapi masyarakat.

Untuk memberikan jawaban yang bisa dijadikan pegangan, maka fatwa fiqh inilah yang lebih memungkinkan.

Karena meskipun fiqh merupakan pola pikir yang kelihatan hitam putih, namun ada kelenturan fleksibilitas yang cukup tinggi dalam menentukan hitam putihnya sesuatu tersebut.

Hal ini sesuai dengan kaidah yang ada dalam fiqh itu sendiri yaitu “yadurru hukmu ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman” (penerapan ada tidaknya suatu hukum tergantung pada illatnya/alasannya).

Dengan fleksibilitasnya ini pesantren dapat melayani dan menjawab problem masyarakat yang kompleks dan plural.

Dengan demikian dia bisa menampung kecenderungan masyarakat yang beragam, tanpa kehilangan pijakan agama.

Meski dengan derajad fliksibilitas yang tinggi, masyarakat tetap merasa bahwa jawaban yang diberikan pesantren adalah jawaban pasti yang agamis karena berangkat dari nilai dan pemikiran agama yaitu fiqh. Pola pikir fiqh yang memiliki derajad fleksibilitas tinggi inilah yang melahirkan nilai-nilai dan cara pandang keagamaan yang terbuka (inklusif) kalangan pesantren sehingga membentuk budaya toleran, moderat, dan tidak mudah mengkafirkan orang.

Di samping karena pengaruh pola pikir yang fiqh yang fleksibel dan kontekstual, sikap pesantren juga dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf yang menjadi referensi kalangan pesantren.

Pemikiran tasawwuf ini berfungsi untuk mengasah rasa dan melembutkan hati, agar perdebatan dalam fiqh tidak terjebak dalam pertimbangan rasional yang dikendalikan nafsu, tetapi benar-benar bersumber dari kejernihan hati dan kepekaan batin.

Dalam dunia pesantren, pola pikir fiqh yang cenderung simbolik formal dan material diimbangi dengan laku tasawwuf yang subastansial-spiritual dan cederung mengedepankana dimenasi batiniah.

Untuk menjaga keseimbangan fiqh dan tasawwuf, pesantren menerapkan kualifikasi dan stadarisasi kitab-kitab yang harus dipelajari, dan hal ini diberlakukan secara ketat.

Di kalangan pessantren dikenal dengan istilah kitab mu’tabar (kwalified) dan ghairu mu’tabar (tidak kwalified).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: