Akar Pemikiran Pesantren dan Terorisme

Beberapa pesantren NU tetap menggunakan kitab kuning sebagai referensi wajib di pesantren.

Demikian juga nilai-nilai dan kultur pesantren yang menghargai toleransi, fleksibel dan merakyat.

Memang ada upaya perubahan di kalangan pesantren, tetapi perubahan ini bukan pada tataran yang substansial yaitu pada kerangka pikir, pendekatan dan metode.

Ada beberapa nilai dan tradisi pesantren yang menurut kalangan pesantren sendiri perlu dirubah. Misalnya dalam hal bermadzhab (mengikuti alur pemikiran).

Beberapa kalangan pesantren NU menginginkan adanya perubahan bermadzhab dari yang bermadzhab secara qauli (mengikuti produk pemikiran), berubah menjadi bermadzhab secara manhaji (mengikuti metodologi berpikir).

Perubahan ini diputuskan secara formal oleh Rabithatul Ma’ahid Islamiy (RMI; Perhimpunan Pesantren NU) pada Munas tahun 1989 di Watucongol, Magelang.

Hal ini dimaksudkan untuk mendinamisir pemkiran pesantren dalam menghadapi tantangan zaman.

Di samping itu, di sisi lain, juga terjadi perubahan yang cukup mendasar di kalangan pesantren dengan masuknya beberapa pemikiran baru, seperti pemikiran Hassan Hanafi mengenai Kiri Islam, Moh. Arkoun di bidang filsafat dan tasawwuf, Moh. Thoha dan An-Naim di bidang Fiqh, Nasr Abu Zayd dan sebagainya.

Anehnya pemikiran yang diserap oleh kalangan pesantren ini justru pemikiran yang kritis dan moderat, sehingga perubahan ini justru memperkokoh spirit dan paradigma yang telah dibangun oleh kalangan pesantren sebelumnya.

Di tengah maraknya fenomena Islam radikal yang puritan, simbolik dan formal, pesantren NU justru mengokohkan diri sebagai lembaga agama yang mengajarkan pemikiran Islam yang moderat, inklusif dan kritis.

Hal inilah yang membedakan pesantren NU dengan pesantren-pesantren lainnya.

Dilihat dari konteks sosiologis, pemilihan paradigma dan karakter keislaman yang moderat, inklusif dan kritis ini sangat bisa dipahami, karena mayoritas pesantren NU berbasis pada reaitas obyektif masyarakat.

Keberadaan pesantren NU menyatu dan ditopang oleh masyarakat sekitar. Oleh karenanya dia sangat mengerti denyut nadi dan problem kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya.

Karena setiap hari bergelut dengan realitas kehidupan sosial masyarakat, maka dia dituntut untuk memberikan jawaban dan penyelesaian secara kongkrit dan sulusif.

Oleh karenanya wajar jika kemudian timbul pemikiran keislaman yang praksis, kritis dan kongkrit.

Hal ini berbeda sama sekali dengan pesantren-pesantren lain yang muncul dengan ideologi, nilai dan kultur baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: