Akar Pemikiran Pesantren dan Terorisme

Kitab mu’tabar adalah kitab yang layak diajarkan di pesantren dan menjadi rujukan utama dalam membangun pola pikit kalangan pesantren. Sedangkan kitab ghairu mu’tabar adalah kitab-kitab yang dianggap tidak standar, sehingga tidak layak diajarkan dan menjadi rujukan kalangan pesantren.

Kalau dicermati, kitab-kitab yang dianggap mu’tabar oleh kalangan pesantren adalah kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama yang tidak memiliki pemikiran radikal, seperti karya Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan imam Hambali di bidang fiqh.

Pemilihan empat imam madzhab ini sebagai rujukan utama kalangan pesantren, karena para kyai dan ulama pesantren sadar betul akan fleksibilitas pemikiran fiqh, sehingga perlu alternatif supaya tidak kaku dan sempit.

Hal ini menunjukkan sikap moderat dan inklusif kalangan pesantren dalam bermadzhab.

Selain fiqh, kitab mu’tabar yang diajarkan dipesantren adalah kitab tasawwuf karya Imam Ghozali, imam Ibn Atho’illah al-Iskandari, Imam Junaid Al-Baghdadi; di bidang Aqidah (teologi) karya Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidi; Shoheh Buhkori, Muslim dan kutubussitah dan sebagainya.

Semua kitab yang dianggap mu’tabar di kalangan pesantren tidak ada yang mengajarkan radikalisme dan sikap ekstrim.

Sebaliknya, pemikiran-pemikiran ekstrim dan radikal seperti yang ditawarkan Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan sejenisnya, tidak bisa diterima di pesantren, karena disamping dianggap tidak muktabar, pemikiran-pemikiran tersebut juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai pesantren.

Dilihat dari sumber-sumber referensi, pemilihan kitab dan ulama yang dijadikan panutan jelas terlihat bahwa akar pemikiran pesantren bukanlah radikal dan keras.

Hal ini juga bisa dibuktikan dengan kaidah-kaidah pemikiran yang menjadi komitmen pesantren diantaranya adalah penanaman sikap tasammuh (toleran), tawassuth (tengah-tengah), tawazzun (argumentatif), dan I’tidal (konsisten).

Karena pemikiran yang demikian, perbincangan mengenai issu jihad, wacana Islam kaffah dan sejenisnya menjadi sangat minim di kalangan pesantren.

Penanaman ideologi dan fanatisme keislaman di pesantren tidak dilakukan dengan cara-cara yang provokatif dan emosional, misalnya membuat jarak yang eksklusif dengan kelompok lain.

Sebaliknya, penanaman nilai-nilai keislaman justru dilakukan secara kultural, fleksibel dan dialogis.

Transformasi Metodologi

Akar pemikiran pesantren yang seperti ini tampaknya masih di jaga dan dipertahankan oleh kalangan pesantren, khususnya di kalangan NU.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: