Quo Vadis Gerakan Perempuan Indonesia

Ilustrasi Gerakan Gerempuan (foto haiva)

Oleh: Melda Imanuela (Sekretaris DPD PA GMNI Jakarta Selatan)

img 20211218 151849
Melda Imanuela

SEJARAH Gerakan perempuan di Indonesia menorehkan sejarahnya secara formal pada Kongres Perempuan I tahun 1928.

Gerakan itu berderap penuh dinamika, sempat dihancurkan, tetapi terus hidup dengan beragam bentuk dan segudang tantangan sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia.

Quo vadis gerakan perempuan Indonesia setelah 10 tahun reformasi, bahwasannya gerakan perempuan tahun 1990-an adalah bagian dari tahun-tahun puncak implementasi ideologi pembangunan dengan represi militeristik terhadap segala bentuk gerakan sosial. Salah satunya adalah tentang Pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo adalah wajah paling keji dari praktek represi itu Dimana sejarah gerakan perempuan diredam bahkan diberangus sejak tahun 1965 sampai tahun 1998 dimulai dari menghapuskan Gerwani dan gerakan-gerakan perempuannya dengan jaman Orde Baru, yakini Pemerintahan Soeharto yang mulai mengalihkan konsepsi gerakan perempuan di ranah domestik sehingga mulai muncul organisasi PKK, Dharmawanita, dan lainnya.

Gerakan Perempuan Indonesia

MENYOAL gerakan perempuan Indonesia, Mr AK Pringgodigdo membagi pergerakan perempuan di Indonesia menjadi tiga gelombang, pertama pada 1908-1920. Kedua, pada 1920-1930 dan ketiga pada 1930- 1942. Menurutnya, pada gelombang pertama pergerakan perempuan hanya berjuang untuk mempertinggi kedudukan sosial. Persoalan politik, seperti hak pemilihan, tidak menjadi perundingan sama sekali. (Mr AK Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, 1960: 33).

Tokoh pergerakan yang menjadi ikon pada gelombang pertama ini adalah RA Kartini. Ia sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya kepada Prof dan Nyonya FK Anton di Jena, 4 Oktober 1904, Kartini menulis, “Apa bila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri kedalam tangannya; menjadi ibu ? pendidik manusia yang pertama. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah tangga dan kepada ibulah terletak kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budi pekertinya ? untuk keperluan keluarga yang lebih besar yang dinamakan masyarakat, di mana ia kelak akan menjadi anggotanya. Itulah sebabnya, kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis. (Sartono Kartodirdjo, dkk, Sejarah Nasional Indonesia, 1975:244-245).

Pada 1920-1930 saat gelombang kedua nasib perempuan Indonesia mengalami banyak perubahan dari tahun sebelumnya. Ini ditandai dengan berkurangnya kawin paksaan, anak-anak perempuan diperbolehkan bersekolah dan lainnya, (Mr AK Pring godigdo, 1960: 108).
Pada gelombang ini pula Kongres Perempuan Indonesia pertama diadakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928; diselenggarakan ber sama oleh wakil-wakil ketiga jenis perkumpulan-perkumpulan tersebut, seperti Wanito Utomo, Putri Indonesia, Wanito Katolik, Wanito Mulyo, Aisiyah, Sarekat Islam (SI) bagian wanita, dan dari kalangan pemuda: JIB dan Jong Java (JJ) bagian wanita dan Wanita Taman Siswa). Tujuan nya ialah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan perempuan Indonesia. (Mr AK Pringgodigdo, 1960:111)

Gerakan perempuan yang mulai memperkenalkan paham kesetaraan gender adalah Istri Sedar (IS). Gerakan ini muncul pada awal gelombang ketiga dan menjadi ikon pada masanya. Pada gelombang ini pula terjadi friksi antara gerakan perempuan Islam dengan feminis. Pendiri dan pemimpinnya bernama Nona Suwarni Djojoseputro.

Istri Sedar didirikan pada 22 Maret 1930 di Bandung (Mr AK Pringgodigdo, 1960: 184). Istri Sedar inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Gerwis atau Gerakan Wanita Sedar yang akhirnya setelah sembilan tahun Indonesia merdeka diubah menjadi Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia.

Istri Sedar merupakan organisasi yang dianggap paling radikal saat itu. Banyak organisasi perempuan Islam yang tidak senang dengan garis perjuangan Istri Sedar. (Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI, 2007:7).

Istri Sedar berusaha agar anggotanya sadar akan cita-citanya sebagai anak bangsa dan perempuan yang sadar, supaya mereka lebih matang untuk berjuang di lapangan politik bersama kaum laki-laki. Mereka sangat senang jika anggotanya masuk dalam partai politik. (Mr AK Pringgodigdo, 1960:184).

Pada gelombang ini pula gerakan perempuan mengadakan kongres di Bandung pada 1938 dan memutuskan agar 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu dengan semboyan: “Merdeka melaksanakan Dharma”. Maka, cita-cita Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat dan Ibu Bangsa mulai dihayati oleh kaum wanita (Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia,1977: 7).

Sukarno dalam buku Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia menekankan bahwa feminisme atau neofeminisme tidak mampu menutup scheur (retak) yang meretakkan perikehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh.

Kata Bung Karno, “Scheur antara perempuan sebagai ibu dan istri dan perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan istri, tetapi peri kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan istri.”

Membangun Kesadaran

MEMBANGUN gerakan pada dekade 1990-an, adalah membangun kesadaran politik tentang posisi perempuan dan perlawanan sistematis di bawah bayang-bayang kekerasan negara dan ketidakpedulian masyarakat yang mapan.
Perubahan politik pada tahun 1998 membuat gerakan perempuan harus mengubah strateginya. Lahirnya Komnas Perempuan memperlihatkan suatu eksperimentasi strategi yang memperlakukan negara sebagai entitas yang harus diberdayakan tanggung jawabnya.

Pemetaan kekerasan terhadap perempuan, reformasi hukum, pemulihan dalam arti luas, perlindungan kelompok rentan diskriminasi, memantau sistem dan lain-lain dilakukan.

Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilahirkan. Terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) 14 tahun silam, merupakan sebuah langkah yang tepat dalam rangka memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia.

Disamping itu, perempuan memiliki tantangan yang sangat besar. terutama kemiskinan yang semakin parah, khususnya di pedesaan, luapan gelombang migrasi dan Undang-Undang Pengiriman dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang lemah, globalisasi, desentralisasi, dan perda-perda yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.

Masalah perda-perda yang menghapuskan kemiskinan dengan ?menghilangkan? orang miskin seperti perda keteriban dan kemanan, pecahan-pecahan permasalahan yang tajam seperti fundamentalisme agama. Sehingga persoalan yang substantif seperti kemiskinan, malah dibelokkan menjadi persoalan moral yang sempit.

Perempuan selalu berseberangan dengan kebudayaan karena kultur di Indonesia tidak ramah terhadap ide-ide kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kebudayaan dominan yang berlaku membedakan manusia atas dasar jenis kelamin biologisnya. Maka perlu memasukkan dirinya dalam gerakan perempuan terbaru, mengusung isu-isu kontemporer menyangkut isu seksualita, misalnya peyandang disabilitas dan kamu marginal yang terpinggirkan.

Gerakan perempuan terus hidup dengan keberagaman bentuk di tengah kemenangan, kegagalan, dan tantangannya. Dalam hal ini, melihat gerakan perempuan harus merumuskan kembali wacana yang sebelumnya gagal dilakukan.

Apalagi dengan munculnya Undang-undang di Indonesia yang menjadi keberhasilan gerakan perempuan yaitu dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Dalam hal ini mulai spirit gerakan perempuan Indonesia untuk memberikan penguatan partisipasi perempuan ditempatkan di posisi pengambilan kebijakan public yang strategis baik di legislative, eksekutif maupun yudikatif.

Selain itu, bahwasannya Demokratisasi membutuhkan sistem pemilihan umum yang mampu mengakomodasi perwakilan kelompok, termasuk kelompok perempuan.

Selain itu, munculnya UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh. Kemudian UU No 19 Tahun 2013, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Kedua UU tersebut menyuarakan perlindungan perempuan penyandang disabilitas dan petani perempuan.

Maraknya kekekerasan seksual di Indonesia, hal ini mendorong gerakan perempuan menyuarakan RUU Tindakan Penghapusan Kekererasan Seksual (RUU TPKS) yang sebelumnya dikenal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi penting untuk segera disahkan meskipun tanggal 16 Desember 2021 terhambat di BAMUS DPR RI tetapi tidak membuat solidaritas gerakan untuk menyuarakan pengesahan RUU TPKS di tahun 2022.

Apalagi respon positif dan progresif dari pemerintah dengan munculnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021, hal ini merupakan titik awal dalam pencegaha kekerasan seksual di Perguruan Tinggi sehingga Kampus Merdeka Belajar tanpa Kekerasan Seksual.

RUU PPRT melindungi kepentingan relasi/hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga (majikan). Tidak hanya mengatur terkait perlindungan dan jaminan kepada PRT tetapi Pemberi Kerja (majikan). Meminimalisir tindak penyalahgunaan agen-agen penyedia PRT. Menjadi penting juga untuk segera dibahas dan disahkan oleh legislatif.
Apalagi dengan persoalan ekstrimisme di Indonesia yang menjadi hal penting dimana perempuan dan anak bisa menjadi pelaku ekstrimsme kekerasan.

Wawasan kebangsaan menjadi penting untuk kembali dikutakan. Pancasila bukan sekedar kata-kata tapi terwejantahkan dalam kehidupan sehari-sehari dalam berbangsa dan bernegara.

Qua Vadis GMNI dalam membumikan pemikiran Soekarno tentang Sarinah

DALAM membumikan ide dan gagasan yang menjadi pertarungan ideologi di Indonesia memberikan beragam gerakan perempuan Indonesia. Maka beragam gerakan perempuan mulai dari secktor organisasi perempuan yang bernuansa agama misalnya Fatayat dan Aisyiah. Dan organisasi perempuan yang nasionalis mulai dari Perwanas dan Kowani. Tumbu subur juga NGO mulai dari Kapal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Jakarta Feminist, dan masih banyak lainnya.

Nah, menjadi penting ditelisik kembali Qua Vadis gerakan perempuan di GMNI seperti apa? Dan mau dibawa kemana?

Sukarno dalam buku Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia pada November 1947. Beliau mengatakan:

?Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, – tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!?

Hal ini mengartikan bahwasannya perempuan dan laki-laki memiliki kemitrasejajaran dalam revolusi di Indonesia. Tanpa melibatkan perempuan maka tidak terwujudnya nama revolusi sejati.

Disamping itu, Sukarno mengatakan bahwasannya ??sosialisme berarti adanya pabrik yang kolektif. Adanya industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif. Adanya distribusi yang kolektif. Adanya pendidikan yang kolektif. Sosialisme berarti adanya banyak otomobil, adanya radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta api, adanya kapal udara, adanya aspal, adanya water leiding, adanya listrik, adanya gambar hidup, adanya buku-buku, adanya perpustakaan, adanya ilmu tabib, adanya aspirin, adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, adanya irigasi, dll, semuanya secara mempunyai jumlah minimum, dan semuanya, (saya pinjam perkataan Bakounin, walaupun ia orang anarchist) ?di dalam suasana kolektivitas? (Sarinah, 1947).

Penting merumuskan kembali gerakan sarinah dalam membumikan pemikiran Sukarno tentang buku Sarinah yang menjadi satu kesatuan dalam ideologi Marhaenisme yang utuh. Oleh karenanya gerakan sarinah di GMNI menjadi lebih taktis dan strategis dalam kolaborasi jejaring dengan organisasi gerakan perempuan lainnya.

Disamping itu dukungan bung-bung GMNI dengan kegotong royongan.

Salah satu contoh gerakan taktis dan strategis adalah Muhamadiyah memberikan dukungan gerakan kader perempuannya di Perludem untuk spesifikasi ruang gerakan yang menjadi leading bahkan langka hanya mereka yang menginiasinya isu perempuan dan pemilu.

Rumah GMNI mulai memikirkan secara serius tentang ruang kader perempuan bukan hanya memberikan 30 persen keterwakilan kader perempuannya dimulai dengan memasukkan kader perempuanya di setiap lini baik di pengurus harian bahkan menjadi ketua bidang di jajaran DPP PA GMNI. Gerakan afirmatif action 30 persen keterwakilan perempuan yang proporsional dalam pengurusan DPP PA GMNI 2021-2026. Tujuannya mewujudkan kemitra sejajaran sarinah/zus dan bung didalam rumah GMNI. Sehingga menghapuskan stigmatisasi yang mensubordinasikan kader perempuan yang mengemis, meminta belas kasihan dan bidang kesarinahan saja yang diberikan ruang aktualisasinya.

Maka perlu catatan penting untuk memilih kader-kader perempuan yang kompeten di bidangnya mulai dari akademisi, parpol/legislative, eksekutif, dan yudikatif bahkan lembaga non pemerintah misalnya NGO dan ormas perempuan. Sehingga kader perempuan mampu memberikan warna sendiri dalam gerakan perempuan, bukan menjadi pemandu sorak melainkan trendsetter dalam persoalan-persoalan bangsa Indonesia. (Tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: