Jelang Muktamar, Transformasi PPP Harga Mati

Kontribusi dan saham terbesar yang diberikan NU kepada PPP tidak semata-mata berupa perolehan suara yang dikumpulkan PPP dari lumbung-lumbung basis massa NU, akan tetapi secara politik juga bisa ditelusuri dari betapa besarnya “pengorbanan politik” NU ketika suka tidak suka, mau tidak mau harus bergabung dengan partai lain yang memiliki basis massa yang lebih kecil.

Dibutuhkan kebesaran jiwa dan keteguhan sikap politik untuk mau duduk dalam posisi setara dalam satu wadah.

Bahkan dalam dinamika perjalanan politik di PPP, baik secara langsung maupun tidak langsung juga tidak luput dari “skenario” rezim Orde Baru untuk melakukan proses “peminggiran” terhadap posisi dan peran politik NU.

Meskipun fusi partai ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan identitas komponen-komponennya, dan sejarah PPP berikutnya ditandai oleh konflik-konflik antara keempat komponen ini dalam pembagian jatah kursi dan kue kekuasaan. Faktanya konflik-konflik itu, NU terlalu sering menjadi faksi yang dirugikan.

Namun demikian, hal ini tidak bigitu saja menyurutkan NU dalam mengambil gelanggang politik di PPP.

Karena pada saat yang sama, para pimpinan dan politisi NU memanfaatkan situasi yang ada dengan menggunakan PPP sebagai kendaraan politik dalam melakukan “perlawanan” terhadap Golkar dan pemerintahan Soeharto dalam memperjuangkan aspirasi umat islam. Konfrontasi serius dengan pemerintah pernah beberapa kali terjadi terutama pada saat-saat menghadapi pemilu.

Seperti pada pemilu tahun 1971, kampanye pemilu menjadi ajang perebutan pengaruh yang timpang antara kekuatan politik Islam dan rezim Orde Baru (Liddle, 1978).

Pihak militer dan penguasa sipil di semua tingkatan menggunakan tekanan keras kepada calon pemilih agar memberikan suaranya ke Golkar. Lagi-lagi para politikus NU menjadi pengkritik paling vokal dan berani.

Para juru kampanye PPP diancam dan bahkan diserang secara fisik oleh kelompok-kelompok yang disponsori Golkar.

Sisi lain yang menjadi nilai positif dalam posisi peminggiran peran politik NU oleh Orde Baru adalah bahwa harus diakui PPP menjadi wadah dan sarana efektif dalam proses ideologisasi serta kaderisasi politik warga NU.

Melalui peran politik di PPP lah banyak kader-kader NU baik yang berlatar belakang pesantren maupun pendidikan umum bisa “melek politik” serta berani memasuki gelanggang politik menjadi oposisi pemerintahan, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas.

Memasuki masa reformasi, disaat euphoria politik mengilhami lahirnya banyak partai politik baru termasuk yang beraliran ideology keagamaan, semula terasa menjadi ancaman serius bagi PPP, karena sebagian besar dari komponen utama fusi dan penyokong suara PPP selama ini terlibat dalam pendirian partai baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: