Isu PKI dan Rekonsiliasi Kultural ala NU

Oleh: Al Zastrouw

Penulis adalah seorang budayawan

EDITOR.ID – Jakarta, 1 Oktober 55 tahun silam telah terjadi peristiwa berdarah yang menorehkan sejarah kelam bangsa Indonesia. Tragedi politik penuh intrik itu telah memakan korban ribuan nyawa menimbulkan trauma dan luka hingga saat ini. Mesi sudah berlalalu lebih setengah abad, tapi luka itu belum pulih. Seolah ada upaya membiarkan luka ini terus menganga agar bisa menjadi komoditas politik yang digunakan untuk melukan manuver dan bargaining. Demi kepentingan poltik, beberapa politisi terus mengkorek dan menggaruk luka sejarah itu sehingga menimbulkan luka baru yang lebih pedih.

Sebenarnya upaya menyembuhkan luka sejarah itu sudah dilakukan oleh masyarakat melalui proses rekonsiliasi. Hal ini justru dilakukan oleh mereka yang terlibat langsung dalam konflik berdarah di lapangan yaitu warga NU dan PKI. Sebagaimana disebutkan oleh Agus Sunyoto (1990) dan Hermawan Sulistyo (2000) sebelum muncul tragedi 1 Oktober 1965, di lapangan telah terjadi benturan sosial antar anggota kedua organisasi tersebut yang memakan banyak korban jiwa. Namun beberapa tahun setelah terjadi tragedi berdarah itu terjadi proses rekonsiliasi antara warga NU dan PKI yang dimotori oleh para kyai NU.

Secara kultural rekonsiliasi antara kyai dan waraga NU dengan keluarga PKI telah terjadi jauh sebelum issu rekonsiliasi muncul yaitu sejak awal tahun 70an. Ketika Orde Baru melakukan ”pembersihan”, banyak keluarga PKI yang dilindungi dan diselamatkan oleh para kyai dan warga NU. Setelah para ex-tapol PKI keluar dari tahanan dan hak-hak sipilnya diberangus sehingga tidak ada perusahaan atau instansi yang berani menerima sebagai tenaga kerja, beberapa kyai menampung mereka untuk bekerja seadanya atau menjadikan sebagai parner membuka usaha bersama. Para kyai dan ummat NU menerima mereka secara terbuka, apa adanya tanpa mebeda-bedakan, sekalipun pemerintah Orba memperlakukan mereka dengan berbagai tekanan. Sikap para kyai dan ummat NU ini akhirnya membuat para eks PKI bisa pulih kepercayaan dirinya dan bisa hidup layak.

Bukti kongkrit yang bisa dirujuk adalah apa yang terjadi di desa Trisulo, Kec.Ploso Klaten, Kab. kediri. Di desa ini 100% penduduknya adalah PKI. Sebagaimana diceritakan Agus Sunyoto pada penulis, Pasca peristiwa 65, hampir tidak ada orang yang berani datang ke desa ini, kecuali para kyai dan NU. Hal ini terjadi karena kedekatan kultural antara warga dewa Trisulo dengan NU, karena meskipun menjadi anggota PKI namun mereka adalah pemeluk Islam ala NU. Ketika ada kematian maka yang membacakan tahlil, mendoakan adalah orang-orang NU yang ada di desa sekitarnya. Demikian juga saat pernikahan, melahirkan anak dan sebagainya mereka mengundang tokoh NU dari desa sekitar untuk memimpin doa. Dengan cara ini, perlahan trauma sejarah warga desa tersebut bisa diobati. Selama 31 tahun pasca peristiwa 65, di desa tersebut tidak ada ormas. sehingga pada tahun 1997 organisasi yang pertama kali berdiri di desa tersebut adalah NU dan Anshor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: