Isu PKI dan Rekonsiliasi Kultural ala NU

Apa yang dilakukan oleh para kyai dan warga NU menunjukkan adanya kesadaran dari masyarakat bahwa konflik tersebut harus segera diakhir dan luka sejarah harus segera disembuhkan dengan cara melakukan rekonsiliasi. Dengan cara memperkerjakan para eks PKI sekaligus membuka kesempatan anak-anak PKI masuk ke pesantren maka konflik segera bisa diakhiri, interaksi sosial berjalan normal dan upaya memenuhi kebutuhan hidup dasar manusia bisa terpenuhi.

Selain alasan tersebut, para kiai juga berpikiran bahwa meski ada benturan ideologis yang sangat tajam anatara Islam dan Komunis yang diekspresikan dalam berebagai konflik sosial, namun semua itu telah berakhir dengan munculnya gerakan G 30 S. Para kiai ini menganggap bahwa G 30 S merupakan pecahnya bisul yang sudah pasti mengeluarkan nanah dan darah. Dengan pecahnya bisul maka seluruh penyakit yang terkait bisul akan berakhir. Namun demikian agar pecahnya bisul itu tidak sampai menimbulkan infeksi yang bisa menggangu oragn tubuh lainnya, maka perlu dilokalisir dan segera diobati. Logika inilah yang mendorong para kiai NU segera melakukan rekonsiliasi dengan warga PKI.

Rekonsiliasi kultural yang dilakukan oleh para kiai dan warga NU dengan para eks PKI terus berjalan selama bertahun-tehun. Bahkan menjadi semakin erat ketika mereka sama-sama menghadapi tekanan Orde Baru (Orba). Selama pemerintahan Orba NU juga juga mengalami tekanan sosial, politik dan ekonomi, sehingga terjadi proses marginalisasi NU secara besar-besaran. Pada periode awal Orba yang dikenal dengan fase konsolidasi kekuasaan, banyak ulama dan kyai NU yang menjadi sasaran kekejaman tentara sepagai aparatur negara Orba. Para kiai ini diintimidasi, bahkan beberapa diantaranya ada yang mengalami kekerasan fisik, ditahan dan dipukuli sampai dengan pemaksaan untuk menutup atau mengganti nama lembaga pendidikan.

Ada kisah dari Sumatra Utara, seorang ulama yang mengelola lembaga pendidikan Ma’arif yang merupakan lembaga pendidikan NU. Oleh aparat setempat dipaksa agar lembaga tersebut berpindah masuk ke GUPPI, suatu lembaga yang menjadi sayap Golkar. Ulama tersebut menolak dengan tegas. Namun pada suatu malam tiba-tiba papan nama lembaga terseebut telah berubah nama menjadi GUPPI. Karena pemimpin lembaga tidak setuju maka plang papan nama itu diturunkan. Namun pada malam harinya terpasang lagi. Kejadian ini terulang beberapa kali hingga akhirnya pemimpin lembaga didatangi aparat kemanan dan dipaksan memasang papan nama tersebut.

Perlakuan yang sama juga dialami oleh para kiai di Jawa. Beberapa diantara mereka dipaksa untuk mendukung Golkar dalam Pemili 1971 dan beberapa Pemilu selanjutnya. Para kiai yang menolak diintimidasi, ada yang diintrograsi di kantor Koramil, ditahan sampai dibacklist tidak boleh memberikan ceramah pengajian. Selain itu, penggusuran tanah secara semena-mena atas nama pembangunan, pencopotan dari jabatan birokrasi dan sejenisnya banyak dialami oleh warga NU, sehingga pada era Orba banyak orang NU yang terpinggirkan dan sebagian lainnya tiarap, menghilangkan jejak keNUannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: