Transformasi dari Old Media ke Now Media

Ilustrasi

Oleh : Edi Winarto
Penulis Adalah Praktisi Media, Dosen Konten Creator dan News Production Creative di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM Interstudi)

Edi Winarto
Edi Winarto

Penghujung tahun 2020 tepatnya pada Kamis 31 Desember 2020, jajaran manajemen Tempo mengumumkan mereka menghentikan penerbitan Koran Tempo. Media ini sudah tidak cetak lagi alias tutup sejak hari itu juga

Berselang nasib Koran Tempo diikuti Koran Harian Umum Suara Pembaruan. Koran yang dterbitkan konglomerat Lippo Group ini lempar handuk alias menyerah menghadapi derasnya arus informasi melalui platform media digital.

Koran Harian Umum Suara Pembaruan, menyatakan tutup mulai 1 Februari 2021. Suara Pembaruan terbit pada 4 Februari 1987 atau hampir 34 tahun silam sebagai kelanjutan koran Sinar Harapan yang diberedel oleh Orde Baru pada 1986.

Berhentinya operasional dua media cetak besar, Koran Tempo dan Suara Pembaruan bukan karena tertekan situasi Pandemi Covid. Karena belanja iklan di media masih cukup besar. “Matinya” mereka karena terdesak oleh perubahan.

Sebuah keniscayaan mereka harus bertransformasi ke media digital atau media online kalau tidak ingin menjadi “makhluk” dalam kesendirian tanpa ada yang mempedulikan. Ibaratnya, Media cetak telah berujud menjadi seorang tua renta, lanjut usia ditelan perubahan jaman.

Kemudian ber reinkarnasi munculah platform media digital. Sebagian wujudnya mirip sebagian sudah berubah total. Belakangan media-media cetak telah bertumbangan, terkubur dalam kesunyian pembaca.

Masyarakat informasi adalah sebuah konsep yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah masyarakat yang dapat memaksimalkan informasi.

Di kancah global era masyarakat informasi ditandai dengan kemunculan perangkat komputer pada 1975 yang mendukung kegiatan membuat, memproses, dan menyimpan informasi hingga kemudian pada 1991 lahir world wide web atau jaringan informasi global berbasis web yang didukung infrastruktur jaringan Internet (Straubhaar & LaRose, 2006).

Teori difusi Everett M.Rogers dalam Straubhaar dan LaRose (2006) mengatakan bahwa perubahan dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial.

Masyarakat Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan waktu dalam penyebaran atau penetrasi teknologi informasi komunikasi (ICT) hingga ke berbagai penjuru wilayah nusantara.

Ketersediaan infrastruktur, sosial dan budaya, serta wilayah geografis kerap jadi alasan. Jikadibandingkan berdasarkan wilayah Indonesia, tingkat kepemilikan komputer dalam rumah tangga di wilayah Jawa paling tinggi, diikuti wilayah Kalimantan. Sedangkan wilayah timur Indonesia memiliki tingkat pemilikan yang paling kecil (Meiningsih, 2011)

Masyarakat sudah berubah. Masyarakat sudah bertransformasi dengan perubahan gaya hidup menuju milenial. Informasi yang dibutuhkan adalah informasi cepat dan yang mudah diakses melalui sarana smartphone yang simpel.

Kebutuhan publik akan informasi saat ini ditentukan oleh kekuatan social media. Mereka adalah jembatan masyarakat yang membutuhkan informasi untuk bisa mengakses informasi yang disajikan di portal-portal penjual informasi.

Media berita online telah menjadi bagian dari perjalanan pers nasional. Sebagai bagian dari media elektronik, media online tumbuh subur di Indonesia terutama sekitar lima tahun terakhir ini ketika teknologi sangat mendukung keberadaannya dan kebiasaan mengakses berita telah berubah.

Oleh sebab itulah, media online memegang peranan penting dalam pers nasional dewasa ini. Tidak hanya karena jumlahnya yang besar tetapi dampaknya terhadap publik juga sangat luas.

Ketua Dewan Pers 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 media dan media online mencapai 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018).

Kemudian sekitar 2000 sampai 3000 merupakan media cetak dan sisanya adalah media radio dan televisi. Jika angka ini dijadikan sandaran dalam memetakan media online di Indonesia, maka betapa perkasanya dan sekaligus betapa rawannya media online ini. (Media Indonesia, Edisi 8 Februari 2020)

Setelah media cetak tutup usia. Ke depan, baik Koran Tempo maupun Koran Harian Suara Pembaruan akan bertransformasi dengan menerbitkan platform digital. Mereka akan mengadu untung bersama dengan 47 ribu media online untuk memperebutkan monetasi dari raksasa Biro Iklan Google Adsense.

Transformasi yang dilakukan Koran Tempo Koran Harian Umum Suara Pembaruan ke platform digital menyusul bergesernya perilaku pembaca koran dalam beberapa tahun terakhir menuju era new media yakni platform media digital.

Mungkin koran Tempo dan Harian Umum Suara Pembaruan bertransformasinya ke platform media digital terbilang terlambat. Pasalnya beralihnya pembaca Koran Tempo ke digital sudah terjadi cukup lama. Pembaca lebih suka membaca Koran Tempo atau Harian Suara Pembaruan versi digitalnya.

Pembaca digital jauh lebih suka membaca berita itu di platfrom digital. Hal ini sudah menjadi perubahan perilaku hidup manusia di era revolusi digital. Dari tahun ke tahun jumlah pengakses media digital terus bertumbuh besar seiring bertambahnya jumlah masyarakat pemilik android atau smartphone yang harganya terus semakin terjangkau. Bahkan kini para petani di desa pergi ke sawah sudah membawa smartphone.

Persaingan yang ketat tumbuhnya media digital atau transformasi dari media cetak ke media digital tentu membuat pengelola platform media digital harus pandai memutar otak. Konten yang disajikan dengan inovasi dan kreativitas maka dia yang akan dibaca viewer.

Sementara nasib media digital hanya bergantung pada sekelompok raksasa platform “Biro Iklan versi Digital” yakni Google Adsense, MGID, atau 360Ads.

Platform biro iklan digital Google Adsense telah menguasai mayoritas pasar iklan di dunia termasuk di Indonesia. Karena bisnis digital tak mengenal tempat. Dia bergerak antar lintas negara. Kita bisa order iklan di Indonesia tapi yang melayani kita orang Kanada atau Amerika mungkin.

Bisnis media digital hanya berbasis Big Data. Siapa yang mampu meraup pelanggan (subscribers) nya tinggi dan pembaca (viewer) nya tinggi maka dialah yang akan mendapatkan monetasi atau income miliaran rupiah dari sang pemilik Iklan Raksasa Google Adsense yang boleh dibilang memonopoli nyaris segmen pasar iklan dunia dan Indonesia.

Dan tren terkini sebagian besar platform media digital atau media online sudah bergeser menjual “konten” nya untuk meraih income. Hal ini dikarenakan mereka sudah tidak mampu lagi berkompetisi melawan raksasa Biro Iklan Google Adsense yang memonopoli iklan seluruh dunia dan Indonesia.

Konon Google Adsense punya bugdet hingga Rp 13 triliun yang akan dibelanjakan melalui pola monetasi berdasarkan jumlah pelanggan (subscribers) dan pembaca (viewer) layaknya pemilik akun youtube atau Youtuber.

Bisnis media online ke depan sangat menjanjikan dan menggiurkan. Hingga kini ada potensi pendapatan naik 200 persen mencapai 9 Miliar Dolar AS. Dan saat ini traffic income media online sudah mencapai 3,5 Miliar Dolar AS.

Banyak pemain di media online terutama media sosial sedang panen pendapatan jutaan hingga miliaran. Bahkan bisnis informasi dan konten kreator ini akan terus bertumbuh pesat. (Editor, Kamis 12 Nopember 2020)

Beberapa parameter menjadi rujukan bagi media online untuk bisa ikut menikmati kue iklan dari Google Adsense dan beberapa platform aplikasi agen iklan global yang nilai total potensi pendapatannya bisa mencapai 9 Miliar Dolar AS untuk belanja global.

Pertama, konten yang diproduksi harus memiliki diferensial advantage. Jangan sekali-kali media mengekor atau follow ke media online lainnya yang sudah eksis dan punya pembaca tinggi, maka dipastikan akan tenggelam dan gagal meraih iklan dari Google adsense secara maksimal, karena bertumbuh pesatnya media online, nyaris kontennya seragam dan tidak inovatif, semua beritanya koor alias sama materinya.

Kedua, desain tampilan dan perwajahan media online harus selalu di update dengan desain dan lay out yang fresh yang standarnya mirip desain media-media digital raksasa dunia. Tapi yang terjadi di Indonesia perwajahan media online hampir semuanya mirip tanpa inovasi dan kreativitas karena semua menggunakan basic platform WordPress.

Yang ketiga, si media online ini harus bekerja keras dan fokus menaikkan jumlah pembacanya setiap hari dengan berbagai strategi. Mulai dari memaintenance SEO, mengup grade backlink, membangun komunitas pembaca dan beberapa strategi lainnya.

Semua akan ditentukan oleh Google Analitical secara fair atau aplikasi statistik web lainnya untuk mengetahui seberapa banyak media kita dibaca, semakin besar yang membaca dan mengakses media kita, maka akan semakin besar peluang untuk meraup dan meningkatkan pendapatan melalui Google Adsense.

Dalam dunia media online parameter pengakuan terhadap media ditentukan dengan produktivitas konten berita, jumlah pelanggan dan jumlah pembaca berita. Karena dengan jaminan jumlah pembaca yang sangat besar maka media tersebut memiliki tingkat impresion (interaktif media dengan pembaca) yang sangat tinggi. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: