Tanggap Covid-19 Hadirkan Konflik Komunikasi

Langkah-langkah itu bisa menimbulkan “pergeseran kepentingan” para pihak. Pemerintah memang harus memiliki ketegasan dalam menentukan prioritas penggunaan anggaran, namun juga harus bijak dan adil dalam perspektif yg lebih luas dan mendasar yaitu perspektif kultural/budaya. Mengingat kondisi aktual saat ini cukup “peka”, bahkan “rentan”.

Yang dimaksud perspektif kultur/budaya, misalnya menggeser alokasi dana pembangunan didaerah tertentu, bisa ada anggapan pemerintah kurang memperhatikan daerah tersebut.

Juga alokasi anggaran untuk aktivitas tertentu yg digeser, bisa saja dianggap merugikan kepentingan bisnis komunitas tertentu ( group perusahaan, suku, agama, partai ).

Juga jika ada bantuan dana ke masyarakat sebagai resiko berkembang-biaknya virus Covid-19 yang diperkirakan terlalu kecil, khususnya bagi kaum lemah, jika dibandingkan dana Negara yang lenyap akibat korupsi serta bisnis yang memanfaatkan fasilitas Negara oleh para Pejabat Negara.

Kaum Kecil/Kaum miskin merasa dirinya dihina dan diperlakukan tidak adil oleh Negara. Dan tentu masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan penafsiran atau dugaan jenis lain.

Itu sebabnya dalam menjalankan peran sebagai “penanggungjawab resiko kepentingan rakyat yang terugikan akibat virus Covid-19”, Negara sangat perlu memperhatikan aspek komunikasi baik formal maupun informal sebagai antisipasi utama dalam hadapi krisis ini, dengan memperhitungkan berbagai perbedaan sebagai konsekuensi beragamnya nilai-nilai sosial budaya.

Resiko terdalam bila dilakukan dg kurang cermat bisa melahirkan perpecahan di masyarakat sebagai akibat konflik budaya. Salah satu aspek penting dalam kajian konflik budaya, adalah bagaimana komunikasi antar budaya dilakukan dengan tetap memperhatikan persepsi-persepsi sosial yg disebabkan perbedaan-perbedaan budaya yg mempengaruhi proses persepsi.

Konflik budaya dalam dimensi komunikasi terjadi tatkala ada keterbatasan dalam komunikasi verbal maupun gestura, perbedaan dalam encoding dan decoding, perbedaan nilai-nilai serta pandangan hidup.

Porter dan Samovar pernah menyebutkan, bahwa masalah utama dalam komunikasi antar budaya adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses persepsi.

Intinya, menurut Toomey, kebudayaan yg dipelajari dalam konteks komunikasi merupakan sistem terpola dari simbol-simbol dan makna. Atau bisa dikatakan, kebudayaan adalah pola dari kehidupan.

Lebih lanjut Miller, seorang pakar ilmu komunikasi, dalam buku “Between People” memberikan gambaran yang menarik. Menurutnya, keterkaitan konflik komunikasi dengan konflik budaya perlu dibedakan antara masyarakat yang cenderung menggunakan LCC (Low Context Cummunication) dan masyarakat yg cenderung gunakan HCC (High Context Communication).

Pada masyarakat yg gunakan LCC seperti masyarakat di Amerika Serikat, mengutamakan data-data psikhologis. Sedangkan masyarakat yg gunakan HCC contohnya Jepang, mengutamakan data-data sosiologis. Masyarakat Indonesia juga cenderung gunakan HCC.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: