Munajat 212 Kesampingkan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah

EDITOR.ID, Jakarta,- Direktur Eksekutif Indonesia Public Institut (IPI) Karyono Wibowo menyayangkan gelaran Munajat 212 di Lapangan Monas Kamis malam (21/2/2019) tak mengundang Ormas Keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Padahal kedua ormas ini paling pas untuk menggelar doa dan dzikir karena itu sudah menjadi tradisi di NU.

Aksi Munajat 212 yang tidak melibatkan Nahdlatul Ulama menjadikan acara tersebut tak banyak dihadiri umat sebagaimana aksi-aksi 212 sebelumnya. Terlihat massa yang hadir adalah massa ormas tertentu yang selama ini mendukung paslon tertentu. Sehingga gaung acara ini tidak besar dan meluas.

“Sangat heran yang diundang kan temen-temennya blok sana, yang blok sini tidak diundang misalnya. Dari organisasi NU juga tidak diundang, Muhammadiyah juga tidak diundang. Saya kira kegiatan 212 kemarin itu jelas sekali bermuatan politis,” ujar Karyono di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada Sabtu (23/2/2019).

Karyono juga menyayangkan kepada sejumlah pihak yang menyatakan kalau kegiatan ini murni agama. Sebab menurutnya, kegiatan tersebut memiliki unsur politik terselubung.

“Meskipun dibungkus dengan kegiatan munajat doa tapi tetap saja kegiatan itu tidak luput, tidak bisa dipisahkan dari kepentingan politik. Jadi muatan politiknya juga sangat kental di acara kemarin itu,” jelas Karyono.

Karyono menilai kalau kegiatan Malam Munajat 212 erat dengan unsur politik di dalamnya.

Muatan politik ini dapat dilihat dari tamu yang diundang dalam kegiatan Munajat 212.

Mulai dari Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, Ketua PKS Sohibul Iman, Neno Warisman dan Titiek Soeharto. Sementara dari pihak kubu 01 tidak ada yang menghadiri kegiatan Munajat 212 itu.

Meski begitu, ia menilai kalau kekuatan dari Persaudaraan Alumni (PA) 212 sudah mulai berkurang. Sebab, kini kesadaran masyarakat sudah lebih meningkat perihal melihat kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh PA 212 ini tidak hanya murni secara agama saja. Tak hanya itu saja, kata Karyono, internal PA 212 pun mulai terpecah belah.

“Banyak kan yang pecah, mereka tidak bersepakat. Kenapa? Alasannya karena tidak ingin kegiatan keagamanan itu untuk kepentingan politik. Ini alasan orang-orang yang keluar dari alumni 212. Alasan ini mengafirmasi bahwa gerakan 212, 411 dan lain-lain itu jelas sebuah aksi yang menggunakan kedok agama untuk tujuan politik,” terangnya.

“Tapi menurut pengamatan saya semakin ke sini semakin menurun (kekuatan PA 212), makin melemah gitu ya. Seiring mungkin dengan kesadaran masyarakat yang terus meningkat tentang gerakan 212 yang dilakukan oleh mereka,” pungkas Karyono.

Hal senada disampaikan Ketua Forum Rembug Masjid Indonesia, Gus Soleh. Pengasuh Pondok Pesantren ini menilai gelaran acara Doa Munajat 212 kental nuansa politisnya.
Gus Solah mempersilahkan Presidium Alumni 212 menggelar acara doa tersebut namun ia menghimbau jangan sampai agama dijadikan bungkus politik karena akan merendahkan nilai-nilai yang tinggi pada agama.

“Cuma harapan kami ya bungkus-bungkus inilah yang kita ini kurang gimana gitu,” ujarnya sebagaimana dikutip dalam acara Special Report iNews TV yang diunggah saluran YouTube iNews Special Report pada Kamis (21/2/2019) malam.

Nuansa politis tersebut semakin kental karena selain Ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tak diundang, menurut Gus Soleh, pendukung Jokowi juga tak diundang dalam acara tersebut.

Menurut Gus Solah, jika memang gerakan politik, tidak perlu menyebutkan acara tersebut sebagai acara keagamaan seperti munajat.

“Ini bungkusannya munajat, tapi isinya ya tahu sendiri lah, gerakan-gerakan yang di dalamnya itu pengkondisian dan konsolidasi,” kata Gus Soleh.

Menanggapi tudingan Gus Soleh, acara Munajat 212 adalah jelas-jelas gerakan politik berbalut agama, Presidium Alumni 212 Haikal Hasan membantah.

“Kalau kita lihat kalimat itu, mana ada saat ini yang tidak politis?” kata Haikal Hasan menanggapi tudingan Gus Solah jika acara Munajat 212 adalah gerakan politik berselubung agama.

“Ibu-ibu beli kol itu politis. Kenapa? Kerena dulu kol murah, sekarang tinggi. Dulu petani kolnya 1.200 sekarang 300 perak. Petani protes, politis. Petani garam protes, politis. Dibuang-buang, itu juga politis. Emak-emak beli susu juga politis.”

“Jadi kalau melihat dari sisi mana, setiap gerakan kita sekarang selalu dituding sebagai gerakan politis,” papar Haikal Hasan.

Haikal Hasan mengaku, acara tersebut memang memiliki unsur politis di dalamnya.

“Kita tidak bisa mengingkari. Daripada debat,” katanya.

Menanggapi soal Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tak diundang, Haikal Hasan lantas menjelaskan bahwa pihaknya memang tidak menyediakan undangan.

“Siapapun silahkan datang. Sebagaimana 212, bahkan yang non muslim kita undang. Yang hadir kita kasih mik (mikrofon), silahkan berbicara,” jelas Haikal Hasan.

“Jadi enggak ada udangan satu per satu. Karena ini acara ummat, acara kita semua,” tegasnya. (tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: