Dr. Karnaji: Situasionisme dan Ruang Yang Dilipat

dr. karnaji situasionisme dan ruang yang dilipat

EDITOR.ID ? Surabaya, Sebagaimana wajarnya metropolitan, kota Surabaya penuh dengan beragam dinamika sosial. kepadatan penduduk, sirkulasi ekonomi, serta kompleksitas budaya yang tinggi menjadikan Surabaya sebagai kota yang selalu punya cerita.

Cerita tentang kota Surabaya seringkali dirangkum dalam konsep mitos, politis, maupun historis, namun tidak dengan cerita tentang berkembangnya ilmu pengetahuan.

Meski begitu, masih banyak tokoh dengan style berpikir menarik di kota ini. salah satunya adalah Karnaji, seorang Urbanis beraliran Situasionis yang muncul dari sudut intelektual Surabaya.

Aktif mengajar Sosiologi perkotaan di Universitas Airlangga, Karnaji yang memperoleh gelar Doktor dari Universitas Airlangga ini mampu memberikan cerita tentang Surabaya dari sudut pandang lain.

Karnaji besar dan berkembang di Universitas Airlangga, sekaligus menjadi murid langsung dari Prof. Soetandyo yang juga pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Meski pemikiran Karnaji banyak dipengaruhi oleh Prof. Soetandyo yang bercorak Fungsionalis, namun pada akhirnya melabuhkan diri pada poros Neo-Marxis.

Perjalanan intelektual Karnaji dimulai dengan aliran struktural, yang pada era orde baru menjadi satu Meta-Narasi bagi sosiologi di Indonesia.

Alih-alih berpaku pada poros teori Konflik a-la Ralph Dahrendorf, Karnaji memilih untuk stay pada pemikiran Fungsional Talcott Parsons.

Namun pada saat dia melakukan studi ke jenjang berikutnya, Karnaji ?Banting setir? ke haluan neo-marxis milik Herny Lefebvre.

Fokus dari studi Karnaji adalah dinamika Pedagang Kaki Lima yang saat itu digusur dari wilayah balai kota.

Karnaji menggunakan Scope dari Lefebvre untuk menjelaskan fenomena ini, dan sekaligus mengambil kesimpulan bahwa Horizon of becoming dari masyarakat perkotaan adalah hal yang niscaya.

Pada kali ini, Editor.id melakukan Wawancara ekslusif dengan Karnaji, sekaligus menelaah kota Surabaya pada masa ini.

Berikut wawancara ekslusif Editor.id dengan Karnaji, Urbanis asal Surabaya.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial di Surabaya

Q ; ?Menurut anda, bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan di Surabaya??

A ; ?sejauh ini, tokoh ? tokoh yang muncul pada disiplin Sosiologi sudah ada, namun ?taring? nya tidak kelihatan, atau sudah berumur. Dahulu pada era saya, ada nama Prof. Hotman Siahaan yang mentereng pada era orba, ada juga Prof Soetandyo yang saya anggap ?guru? saya. Kalau sekarang, kita bisa melihat salah satu tokoh pemikir yang luarbiasa dari Surabaya, Daniel Sparingga itu.?

Q ; ?Kalau menurut anda, bagaimana tradisi pemikiran di Surabaya??

A ; ?Menurut saya, kalau pada era jaman dahulu saya masih belajar di tahun 90?an, corak pemikiran Marxisme sangat kental di kalangan intelektual Surabaya. Selain itu, teori Konflik juga menjadi satu yang nge-trend di wilayah Surabaya. Tapi saat itu saya masih fokus ke aliran Fungsionalis, dan itu menjadi kerangka berpikir saya dalam way of life saya hingga saat ini. kalau sekarang, saya melihat tradisi pemikiran di Surabaya sudah praktis. Maksudnya, Surabaya kan kota dengan traffic tinggi, sekaligus di setiap sudut pasti ada transaksi ekonomi, dan akhirnya orientasi dari ?pengetahuan? Surabaya adalah komoditas, dan produksi komoditas ditunjang oleh teknologi sekaligus sains modern. Maka dari itu, saya melihat tradisi dari penemuan ? penemuan dan ilmu pengetahuan di Surabaya cenderung praktis dan pragmatis.?

Q : ?Sebagai seorang akdemisi, anda ini masuk ke tradisi pemikiran yang mana??

A : ?Sebagai akademisi, tentunya saya tidak melabeli diri dengan satu atau beberapa aliran, tapi jika dikatakan sebagai Urbanis, ya boleh saja, tapi kecenderungan saya adalah pada aliran Situasionis. Dalam artian tertentu, saya memandang perkotaan sebagai entitas yang tidak akan pernah ?selesai?, dan saya melihatnya sebagai rangkaian dialektika yang tidak pernah selesai. Ketika dialektika Hegel mengatakan bahwa semua selesai pada sintesa, saya lebih cenderung sepakat dengan Henry Lefebvre bahwa Sintesa akan berubah lagi menjadi tesa atau praktik spasial yang baru. Dan praktik spasial ini sangat bergantung pada ?situasi?, atau dalam artian kondisi tertentu. Dalam dialektika klasik, anti-tesa selalu muncul dari pihak oposisi. Saya melihat bahwa anti-tesa bisa muncul dari otoritas, dari oposisi, atau bahkan dari pihak tak terduga sekalipun, yang jelas dari mana saja bisa. Sekaligus, saya melihat juga bahwa sintesa muncul dari kompromi, tidak biner antara baik-buruk.?

Q : ?Sebagai Urbanis, menurut anda bagaimana perkembangan pemikiran Urbanisme di Surabaya??

A : ?Sejauh ini, saya melihat perkembangan aliran Urbanisme lebih banyak diambil alih oleh disiplin ilmu ekonomi atau bahkan disiplin ilmu tata kota, paling jauh, ilmu berbasiskan Historis dari disiplin ilmu sejarah. Secara epistemologis, Sosiologi tidak banyak memiliki peran dalam perkembangannya karena kalah dengan ?tradisi? yang praktis.?

Q : ?Karena sekarang dalam dunia Ilmu Sosial tradisi pemikiran sudah berubah menjadi era Post-Modern, menurut anda apakah Surabaya sudah masuk ke titik itu??

A : ?Kalau saya sendiri, saya masih dalam proses transisi dari modern menuju post-modern. Saya melihat karena praktisnya tradisi akademik di Surabaya, atau bahkan Indonesia, ilmu pengetahuan sosial akhirnya tak bisa beranjak dari kerangka berpikir Kuantitatif yang statis. Padahal, semestinya pemahaman mengenai ?pola? harusnya direvisi, seperti pada saat ini kita sudah tidak bisa melihat lagi mana batasan antara desa dan kota selain dengan faktor aglomerasi atau geografis peta, batasan mengenai pengetahuan sudah tidak ada lagi. Ditambah lagi dengan faktor ?penuaan? dari para tokoh intelektual terdahulu. Maka dari itu perlu adanya regenerasi dalam keilmuan, terlebih di areal keilmuan sosial ? humaniora.?

Tentang Surabaya

Q : ?Sebagai seorang Urbanis, bagaimana anda memandang Surabaya, terutama pada konsep The Production of Space nya Lefebvre??

A : ?Satu kata kunci yang saya ambil andalah Horizons of Becoming, saya melihat bahwa Masyarakat adalah dinamis, dan selalu niscaya untuk ?menjadi?. Jadi kota Surabaya, mau model tata kotanya model seperti apa, atau model masyarakat seperti apa, akan tetap menjadi Surabaya, namun dengan ?definisi? yang mengikuti praktek spasial tertentu. Saya memang fokus pada sektor informal perkotaan seperti PKL dan lain sebagainya, dan saya melihat bahwa pada setiap praktek spasial pada kurun ?waktu? tertentu, representasi ruang, atau dalam artian Kuasa, Dominasi, maupun peran otoritas memliki bentuk berbeda. Ambil saja contoh pada sebelum tahun 2000?an yang identik dengan kejayaan sektor informal di Surabaya. Dahulu banyak sekali praktek spasial di Surabaya, dan pada saat itu Public Space adalah Everyone?s Space, jadi trotoar, atau bahkan tempat paling umum sekalipun, adalah milik semua orang. Misalnya, PKL ? PKL di balai kota yang menjadi ikon Surabaya, pedagang asongan yang muter di THR setiap hari, dan lain sebagainya. Namun setelah itu, pada tahun 2000?an, Representasi Ruang di Surabaya mulai mengeluarkan ?wacana? perubahan terhadap pengetahuan ruang spasial di Surabaya. Dari sudut kekuasaan, muncul ?wacana? tentang Surabaya yang harus bersih, dalam artian harfiah, dan tertata. Akhirnya, PKL ini terpinggirkan, dan akhirnya terjadi kompromi, dan melahirkan ruang representasi baru, yaitu sentra PKL, dengan norma dan sistem nilai yang baru tentunya.?

Q : ?Kalau menurut anda, bagaimana konsep Spatial Justice di Surabaya??

A : ?Kalau menurut saya, Justice itu konsep yang elastis dan bisa melar, jadi menurut saya Spatial Justice ini tergantung pada kompromi dan negosiasi antar pihak pengguna ruang. Contoh adalah pendatang dari luar ruang kota Surabaya seperti orang madura, cina, atau bahkan arab. Konsep kompromi ini sebenarnya sudah terjadi bertahun ? tahun lalu, mulai dari beragam cerita tentang perebutan wilayah antara orang lokal dan non-lokal, namun pada akhirnya ada kesepakatan tentang ruang ? ruang yang merepresentasikan suatu simbol, seperti dulu ada kia ? kia yang jadi ikon cina dan Ampel yang jadi lokasi praktek spasial masyarakat arab. Dan sekarang, meski ada beberapa komunitas yang ?terpinggirkan?, nanti pasti akan ada ruang yang muncul untuk mereka, dan pada akhirnya ruang itu adalah ruang representasi mereka.?

Konsep Ruang yang ?dilipat?, meleburnya batas antara desa dan kota

Q : ?sekarang kan era pandemi, terjadi pembatasan sosial, lalu bagaimana praktek spasial yang ada di Surabaya??

A : ?Ya, saya melihatnya sebagai salah satu hal yang menarik. Dalam konsep yang diusung Lefebvre, Ruang dipandang sebagai entitas kapital, yang mana setiap ruang sosial adalah sebuah ruang kapital, atau dalam artian lain adalah tempat transaksi komoditas, dan dalam setiap ruang, valuasi dari setiap produk bisa berbeda, dan salah satunya adalah ?pengetahuan?. Saya memandang bahwa pengetahuan tentang ruang itu adalah suatu hal yang bisa diperjual belikan. selain itu Ruang pada konsep Lefebvre adalah sebuah ruang sosial, setiap ruang, entah itu dihuni atau tidak, adalah sebuah ruang sosial karena ada ?pengetahuan? di dalamnya. Nah, saya akhirnya melihat bahwa shift dunia pada abad 21 sangatlah cepat, dari revolusi industri pertama ke revolusi industri ke 2 dunia butuh waktu sekitar se-abad untuk mencapai bentuk sempurnanya. Tapi, sekarang ?tiba ? tiba? sudah masuk ke era 4.0. nah, saya melihat Virtualisasi dan Digitalisasi ini sebagai penyedia ?ruang? baru. Tidak sedikit ruang ? ruang virtual yang digunakan sebagai lokasi transaksi ekonomi, seperti marketplace. Selain itu, sosial media memberikan wadah untuk praktek spasial bagi pelaku ekonomi on-line. Saya menyebut ini sebagai ruang yang ?dilipat?. Hal ini karena saya melihat adanya pengikisan segregasi ruang pada lipatan ? lipatan realitas. Sejak era digital, Ruang tidak dipandang sebagai entitas fisik, namun dipandang sebagai ?medium? yang menghubungkan komoditas satu sama lain, ruang ? ruang baru seperti Internet, media sosial, ini akhirnya melebur pada pengetahuan ruang ? ruang konvensional, atau dalam singkatnya, menjadi ruang dan realitas yang ?nyata?. Pada kasus digitalisasi, ruang sosial virtual tidak lagi tersegmentasi pada hanya satu atau dua praktek spasial, namun tidak terbatas, dan tidak terbelenggu pada satu atau dua ideologi atau pengetahuan.?

Q : ?Jika begitu, bagaimana dengan batasan desa dan kota??

A : ?Saya melihat, sekarang mulai melebur, dan sekarang ilmu mengenai tipologi sudah harusnya dikaji ulang. Batas ? batas antara desa dan kota sebenarnya dibentuk melalui pengetahuan, misal, konsep tindakan rasional Weber yang berbasis pada rasio dan perilaku kelompok, lalu konsep solidaritas yang mendefinisikan masyarakat desa sebagai entitas ?kawanan? yang punya sistem nilai dan norma ketat. Nah, konsep ? konsep ini harusnya dipertanyakan ulang, karena pada era sekarang informasi sudah bisa diakses oleh siapapun dimanapun, dan batasan informasi akhirnya lebur karena teknologi. Selain itu, secara spasial, salah satu tolak ukur modernitas adalah globalisasi. Di wilayah kabupaten di Jawa, di wilayah paling pelosok pun, pengetahuan mengenai Franchise global seperti McDonald, KFC, atau bahkan Starbuck sudah dikonsumsi oleh masyarakat ?yang diannggap? desa. Ditambah lagi, adanya traffic di areal pedesaan yang membawa trend untuk sama dengan wilayah kota semakin membuat batas antara desa-kota kabur. Contohkan saja, model pakaian, pengetahuan tentang musik, trend, artis, dan lain sebagainya yang mulai general dan tidak terbatas pada kota saja.?

Begitulah menurut Karnaji. Pada akhirnya, Surabaya akan tetap menjadi kota sebagaimana mestinya kota, tempat ruang ? ruang tidak memiliki antara, tempat gedung menerobos cakrawala, dan juga tempat para intelektual muda lahir demi masa depan bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: