EDITOR.ID, Jakarta – Ulama Syech Moh Ali Jaber, minggu sore (13/9) saat mengisi kajian dan wisuda tahfiz Quran di Masjid Falahuddin, Tamin, Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung, diserang dengan hujaman senjata tajam oleh seorang pemuda tidak dikenal.
Walau ustadz Syekh Ali sempat menghindarinya, serangan tusukan itu tetap mengenai lengan kanan tangannya. Beliau selamat walau mengalami luka, dan segera dilarikan ke Puskesmas terdekat. Pria penikam tersebut tertangkap peserta kajian, dan langsung dibawa ke Polsek Tanjungkarang Barat, Lampung.
“Tindakan upaya penyerangan dan percobaan pembunuhan terutama kepada para ustad dan ulama, pernah marak terjadi terutama di wilayah pulau Jawa pada sekitar awal tahun 2008 sampai 2009,” kata Advokat Djudju Purwantoro Presidium AP KAMI (Aliansi Pendukung Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), melalui selulernya kepada awak media, Senin (14/9/2020).
Anehnya, mayoritas para tersangka penyerangan dan pembunuhan tersebut, dengan alasan tidak waras (gila) justru terbebas dari jeratan hukum, sebelum diajukan proses peradilan (due process of law).
“Penyidik, seyogiyanya dalam menjalankan peran dan tugasnya, wajib menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip fairness and profesional of legal principles,” terang Djudju.
Perihal penyerangan Ustad Syech Ali Jaber tersebut, belum apa- apa sudah terbesit info media bahwa pelaku sedang mengidap penyakit mental (gila).
“Cepat sekali media mengatakan pelaku penusukan adalah orang gila, Polisi diharapkan juga tidak serta merta dengan gampang menyimpulkan bahwa si tersangka pelaku mengidap sakit gila,” ungkapnya.
Kalaupun diduga sakit jiwa, kenapa para pelaku penyerang selama ini bisa memilih korbannya yaitu para ustadz atau tokoh ulama.
Proses penyelidikan dan penyidikan, melalui proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), harus melibatkan pendapat Ahli hukum yang independen dan profesional.
Perihal alasan pemaaf (karena gila) yang sering disimpulkan Polisi kepada tersangka dalam proses penyelidikan atau penyidikan, seyogiyanya jadi kewenangan hakim.
“Hakimlah yang memiliki kewenangan menyimpulkan dan memutuskan seorang terdakwa sebagai (alasan pemaaf) apakah secara alasan medis memang gila. Jika memang terbukti terdakwa mengidap gila, maka hanya Hakim yang bisa memutuskan dibebaskan dari segala tuntutan pidana atau ontslag van alle rechtsvervolgin,” tuturnya.
Sesuai bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP; Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.