Makassar, EDITOR.ID – Sebuah puisi diucapkan oleh seorang Budayawan dan Sastrawan senior, Indonesia
Zawawi itu berjudul “Telur dan menohok kalangan intelektual”.
“Telur….., dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia dari mulut intelektual yang menjanjikan telur,” begitu ucap Zawawi Imron, puisinya ketika tampil di depan forum Temu Penulis Makassar yang berlangsung di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Kamis (8/12/2022).
Dalam sambutannya, Zawawi memang banyak menyampaikan pesan persatuan agar masyarakat Indonesia tak terpecah belah. Ia lantas menceritakan kekaguman mantan rektor Universitas Al Azhar Mahmud Syaltut saat berkunjung ke Indonesia di era kepresidenan Soekarno.
Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak agar terus bersatu dan tidak saling menyebarkan ujaran kebencian. Jokowi yang kemudian memberikan sambutan lantas menyinggung kembali keriuhan yang dibawakan Zawawi sebelumnya.
Penggalan puisi Zawawi Imron tersebut, memberi macam makna. Dari sekian pensyarah: ada ungkapan yang kerap dikutip untuk menjelaskan makna syair puisi Zawawi Imron.
Jika dubur ayam yang bisa menghasilkan telur lebih mulia daripada orang yang hanya bisa menjanjikan telur, maka berhentilah berjanji.
Lakukanlah yang bisa dilakukan. Sebab, derajat kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan. Bukan apa yang kita janjikan. Tindakan kita sangat menentukan siapa diri kita.
Zawawi sebenarnya membacakan sejumlah puisinya, yang membuat peserta pertemuan terpana.
Zawawi menceritakan kedekatan dirinya dengan etnis Bugis, bahkan mengutip sejumlah pepatah Bugis yang sarat filosofi yang sangat tinggi.
Falsafah-falsafah Bugis banyak menjadi sumber inspirasi puisi-puisinya meskipun Zawawi Imron sebenarnya adalah seorang Budayawan asal Madura.
“Saya pernah sampaikan di kampungnya Chairil Anwar bahwa puisinya berjudul Aku, jauh sebelumnya sudah ada dalam falsafah Bugis,” sambung Zawawi.
Meski Zawawi mengatakan, dirinya sangat dekat dengan orang Bugis. “Saya orang Madura keturunan Bugis meski mungkin generasinya sudah jauh,” tambahnya.
Prof Ahmad Sewang, penulis senior Makassar, menjelaskan kekuatan tulisan. Ia mengutip Husain Al Banna bahwa satu peluru hanya mampu menembus satu kepala. Namun satu tulisan mampu menembus ribuan orang, bahkan tak terhingga.
Prof Sewang yang juga Ketua Umum DPP IMMIM Makassar mengaku sedih karena tradisi menulis di kalangan ulama tampak menurun.
“Setelah Syekh Yusuf, para ulama yang menulis tidak banyak. Padahal karya tulisan itu akan memberikan jejak ilmu pengetahuan bagi generasi berikutnya,” kata Prof Sewang.