Wajah Islam dan Indonesia Dalam Musik Kolintang

wajah islam dan indonesia dalam musik kolintang

Yang lebih menarik, dalam lomba lomba kolintang bersholawat yang diselenggarakan oleh Persatian Insan Kolintan (PINKAN) Indonesia bekerjasama dengan PP Jalasenastri dan Yayasan Limeka ini, kita dapat melihat wajah Islam yang ramah, indah dan menyenangkan. Melalui lomba ini tak terlihat wajah Islam yang garang, penuh amarah, kebencian dan caci maki. Penulis melihat wajah-wajah riang penuh kasih dari para pemain kolinang saat menyenandungkan shalawat. Sebagai dewan yuri, bersama mas Franky Raden dan bung Recky, kami merasakan islam telah benar-benar memberikan kebagiaan keada semua semua orang.

Lomba virtual kolintang bersholawat ini menjawab pertanyaan mengappa dulu para walisongo menggunakan kesenian sebagai sarana menyebarkan dakwah dan mengajarkan Islam kepada masyarakat nusantara. Hal ini terjadi karena masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang memiliki kepakaan rasa dan kehalusan budi yang sangat sensitif terhadap seni.

Dalam masyarakat yang seperti ini, akan sulit menerima pendekatan agitatif, koersif dan profokatif. Cara dakwah seperti ini akan sulit diterima oleh bangsa Nusantara. Mereka akan bertahan dan menolak jika didekati dengan cara seperti itu. Penolakan mereka tidak dilakukan secara frontal dan kasar tetapi secara sembunyi-sembunyi dan halus. Inilah yang membuat Islam tidak bisa berkembang selama lebih lima abad di Nusantara. Sebagaimana dicatat dalam sejarah slam masuk ke Nusantara, abad 9 M (bahkan ada yang menyebut sejak akhir abad ke 7) (Hasymi, 1990; M. JunusDjamil dan H. Anas M. Yunus, 2005; Hamka, 1996),tapi baru dapat berkembang dan diterima secara massif pada abad 15 di era Walisongo (Agus Sunyoto; 2011). Keberhasilan Walisongo dalam melakukan dakwah Islam ini karena mereka menggunakan pendekatan kebudayaan dengan kesenian sebagai sarana. Mereka mentransformasikan teks-teks agama yang mengandung ajaran Islam ke dalam kontruksi seni budaya yang dimiliki oleh bangsa Nusantara dengan metode vernakular (Michael Feener; 2021), seperti terlihat pada kidung rumekso, lir-ilir dan sebagainya.

Ada dua keuntungan dakwah melalui seni budaya, pertama, dakwah kebudayan lebih menyentuh rasa dan hati, bukan emosi dan akal. Dakwah yang menyentuh hati lebih beorientasi pada pembentukan akhlak sehingga melahirkan ekspresi keagamaan yang inklusif dan beradab. Sedangkan dakwah agitatif dan provokatif akan cenderung menghasilkan hati yang keras dan beku, pikiran yang simbolik formal yang melahirkan sikap keras, eksklusif dan intoleran.

Kedua, dakwah melalui seni akan lebih mudah menarik perhatian semua orang, karena dapat membuat orang menjadi senang dan bahagia. Seni adalah instrumen yang dapat menembus sekat-sekat sosial dan dideologi. Selagi manusia masih punya hati dan rasa dia akan dapat ditembus oleh keindahan seni. Hanya orang yang sudah mati rasa dan berhati beku yang tidak dapat merasakan keindahan seni, sebagaimana dinyatakan ileh Imam Ghozali: ?Orang yang jiwanyataktergerak oleh semilirangin, bunga-bunga, dan suaraserulingmusim semi, adalahdia yang kehilanganjiwanya yang sulitterobati?.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: