Putusan MK Bersifat Final, Majelis Kehormatan Tak Berhak Membatalkan

Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak bisa membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 atau putusan lainnya. "Putusan MK itu bersifat final dan mengikat, maka tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh. Tidak ada satu pranata hukum satu pun untuk membatalkan suatu Putusan MK,"

Ilustrasi Majelis Hakim MK

Jakarta, EDITOR.ID,- Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES), Juhaidy Rizaldy Roringkon menilai proses persidangan uji materi batas usia Capres Cawapres dalam UU Pemilihan Umum hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, sudah prosedural dan memenuhi semua kaidah dan norma hukum.

“Putusan MK Nomor 90 itu, salah satunya didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel, hal ini dibenarkan oleh MK dalam putusannya,” kata Juhaidy dalam keterangan tertulisnya Rabu (1/11/2023) di Jakarta.

Sebab Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah telah menyerahkan kepada MK untuk memutus perkara minimal usia Capres Cawapres tersebut. Sehingga open legal policy yang selalu digaungkan dan MK memang bisa membatalkan konsep open legal policy dalam UU, dengan beberapa syarat.

Dalam putusan MK 90 secara tegas MK telah menjabarkan dasar putusan, sehingga putusan tersebut konstitusional. Meskipun memiliki dissenting opinion (pendapat berbeda) dan concurring opinion (alasan berbeda), kedua hal tersebut adalah biasa dan dibenarkan dalam setiap putusan pengadilan.

Majelis Kehormatan MK Tak Bisa Batalkan Putusan MK

Sehingga, menurut Juhaidy Rizaldy, Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak bisa membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 atau putusan lainnya.

Menurut dia, putusan MKMK hanya mengikat bagi pribadi hakim konstitusi, bukan terhadap putusan.

Dalam konsep peradilan etik atau court of ethics, menurut Juhaidy, peradilan ini sejatinya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran hakim.

“Dalam PMK No 1/2023, sejatinya MKMK harus mengedepankan prinsip menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim MK, dan jenis sanksinya hanya teguran lisan, tertulis dan pemberhentian tidak dengan hormat kepada hakim. Tidak ada kewenangan MKMK untuk membatalkan putusan MK,” kata Juhaidy.

Selain itu, kata dia, peradilan etik tidak semata-mata untuk menghukum hakim, apalagi berbicara tentang hakim konstitusi yang kedudukannya diatur secara khusus dalam UU MK yang tidak bisa diintervensi UU berbeda.

Menanggapi banyak pihak yang mengkaitkan hakim konstitusi dengan pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, Juhaidy mengatakan UU ini hanya berlaku di peradilan lingkup Mahkamah Agung (MA) bukan MK.

“Banyak yang bilang harus mengacu ke Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, yang di mana putusan bisa dibatalkan. Ingat pasal ini tidak berdiri sendiri. Pasal ini bisa berlaku ke lingkungan MA, dan tidak tunduk ke lingkungan MK. Karena jelas di UU yang sama, kedudukan hakim konstitusi dan kewenangan secara komprehensif dalam UU tersendiri, yaitu UU MK,” kata Juhaidy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: