Pemikiran Manson, Sudahkah Menjadi Manusia yang Kuat?

Oleh : Yulia Mega Puspita

Penulis Mahasiswi Semester Tiga Bahasa dan Sastra Inggris 2019, Universitas Airlangga

EDITOR.ID,- Tahun 2020 adalah tahun yang sangat penuh dengan tantangan. Negara-negara di penjuru dunia dihadapi persoalan yang jauh lebih menyakitkan dibanding tahun sebelumnya, termasuk Indonesia.

Negeri yang ber-bhineka tunggal ika ini dihadapi tantangan mulai dari isu diskriminasi, keamanan dan kelautan, politik, ekonomi, dan wabah penyakit global yaitu virus corona.

Kini Indonesia sudah berada dalam delapan bulan perjalanan wabah virus corona yang begitu berat dan mungkin beberapa orang merasakan bahwa waktu terasa akan sangat cepat dalam satu kedipan mata sejak bulan Maret dimana Indonesia menghadapi kasus pertama covid-19.

Dilansir melalui laman resmi pemerintah covid19.go.id, pada 8 November 2020 menunjukkan kasus positif corona terkonfirmasi bertambah hingga 3.880 kasus.

Hal tersebut memberikan kesimpulan singkat mengenai persoalan krisis yang tengah menghampiri bumi pertiwi ini masih belum tuntas.

Tentunya, masyarakat Indonesia merasakan dampak ini yang bukan hanya tekanan fisik, namun juga tekanan mental.

Tidak hanya masyarakat Indonesia yang mengalami tekanan-tekanan adanya masa pandemi ini, namun hal ini dirasakan masyarakat global baik kalangan filsuf, ilmuwan, tenaga medis, wirausahawan, dan lain-lain.

Mereka harus merasakan bagaimana bertahan hidup hanya di rumah atau bertahan di tempat yang bukan rumah karena mereka tidak dapat berpergian bebas untuk pulang ke rumah yang hangat.

Hal tersebut tentunya akan memicu tekanan mental terutama depresi dengan rasa gelisah yang bahkan membuat seseorang tidak mampu istirahat karena memikirkan bagaimana untuk bertahan ditengah wabah penyakit global.

“Jangankan berfikir untuk masa depan, bagaimana aku bertahan hidup besok saja tidak tahu”

Pernyataan diatas menjadi salah satu keresahan yang dialami bagi orang-orang sebagian besar kehilangan pekerjaanya atau berada di perekonomian yang belum cukup untuk mendukung kehidupan sehari-hari.

Tidak jarang sebagian dari mereka adalah orang-orang yang merasakan bagaimana hilangnya sebuah pekerjaan atau PHK (putus hubungan kerja) di masa pandemi, yang seharusnya mereka mendapatkan pendapatan yang lebih mendukung.

Adanya tindakan yang merugikan ini, tidak mampu mengurangi rasa depresi yang harus ditanggung.

Terutama, seorang pemimpin keluarga yang harus memenuhi kewajiban untuk menafkahi mereka untuk anggota keluarganya yang menanti di rumah.

Hal tersebut dikarenakan kebutuhan hidup seseorang tidak terbatas sedangkan alat untuk memuaskan kebutuhan hidup tersebut terbatas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: