Ketum PBNU Gus Yahya Paparkan Gagasannya Soal Fiqih Peradaban Dihadapan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Gagasan ilmu dan pengetahuan tentang Fiqih Peradaban tersebut dipaparkan Gus Yahya saat menghadiri Seminar Nasional dengan tema "Prospek dan Tantangan Fiqih Peradaban sebagai Solusi Krisis Tata Dunia Global".

Ketum PBNU Gus Yahya saat menyampaikan gagasannya Tentang fikih peradaban di UIN, Jakarta, Senin (20/3/2023)

Menurutnya, peran PBNU sangat signifikan dalam membangun fiqih peradaban. Sebab, Indonesia membutuhkan pemimpin teladan yang transparan, tidak transaksional. Dalam mewujudkan hal ini, Zuhro menegaskan perlu kesamaan langkah, semangat, soliditas, dan sinergi yang kuat.

Berbeda dari ketiganya, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ali Munhanif menegaskan perlunya NU menjadi organisasi transformatif yang harus berhasil memvisualisasi gagasan masa depan membangun tradisi sebagai modal penting yang bisa digerakkan dan ditularkan melalui madrasah.

Fikih Peradaban Gus Yahya

Sebelumnya, Gus Yahya menyampaikan bahwa sebetulnya pemikirannya adalah rumusan pertanyaan yang diajukan dalam forum ulama. Pertanyaan ini, menurutnya, juga ditanyakan oleh orang-orang lain.

Pertanyaannya adalah apakah Piagam PBB sah menurut syariat sebagai perjanjian internasional? Apakah perwakilan negara itu juga sah mewakili umat Islam di negaranya?

“Presiden sah mewakili umat Islam Indonesia, tetapi Jawaharlal Nehru itu sah nggak mewakili umat Islam India? Mao Tse Tung apakah sah mewakili Islam di China? Kepala negara non-Muslim apakah sah menjadi wakilnya umat Islam?” kata Gus Yahya sebagaimana siaran pers yang dikirim Lembaga Ta’lif Wan Nasyr/Lembaga Informasi, Komunikasi, dan Publikasi PBNU kepada redaksi EDITOR.ID.

Jika sah, berarti Piagam PBB itu mengikat, baik terhadap entitas, maupun pribadi umat Islam. “Alhamdulillah jawabannya sah dari segi isinya karena tidak bertentangan syariat, sesuai dengan maqashid syariat,” ujarnya.

Piagam PBB sah dari segi penandatangannya karena melibatkan entitas politik yang sah secara de facto dan de jure. Mereka sah secara niscaya karena kepala negaranya juga dianggap sah. Walaupun non-Muslim, mereka sah mewakili warga negara Muslim.

Gus Yahya menegaskan bahwa PBB ini sah dengan titik tolak imperatifnya adalah perdamaian secara syariat itu sah. Kalau tidak ada itu, ya tidak ada landasannya. Tanpa landasan itu, kita semua wajib perang.

Tidak ada yang lain yang memperbolehkan kewajiban berperang. Orang-orang itu harus taat kepada syarat-syarat yang dia minta sendiri dalam perjanjian dengan orang lain. Apapun kepentingan yang dimiliki kalau sudah perjanjian itu sudah.

“Isi perjanjiang Piagam PBB itu sendiri lebih bersifat visioner ketimbang sesuatu yang langsung diterapkan. Lebih bersifat visi walaupun sekarang belum bisa sepenuhnya diterapkan,” katanya.

Oleh karena itu, menurutnya, PR bagi semua pihak untuk melanjutkan imperatifnya. Jika Piagam PBB diterima sebagai kesepakatan, maka tentu harus ada imperatif ikutan. Dalam perspektif Islam, ini sudah ada landasan syariat tentang kenapa kita tidak boleh bermusuhan dengan kelompok yang berbeda, yaitu perjanjian ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: