Dilaporkan ke Polisi, Sutradara Dirty Vote Dandhy Laksono Tak Terlalu Risau

Dandhy mengaku Sumber Daya Pembiayaan Dirty Vote dari Patungan Lembaga. Film ini dibuat atas dasar sukarela banyak pihak. Sosok yang muncul dalam dokumenter itu juga disebut tak diberi bayaran.

Dandhy Dwi Laksono Sutradara Film Dirty Vote

“Dirty Vote ini kami patungan, para bintang film itu bahkan enggak ada yang dihonor. Enggak ada yang bayar juga. Kami semua bawa resource masing-masing aja. ada yang pakai ongkos sendiri, bawa makanan sendiri, ya sudah itu yang kami lakukan,” kata Dandhy sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia.com, Senin (12/2).

“Patungan di banyak lembaga, banyak orang. Ada yang dalam bentuk duit, tenaga, dan skill,” Dandhy menegaskan.

Dandhy mencontohkan dirinya yang berkontribusi dan mewakili dua lembaga, yakni dari Watchdoc dan juga operasi ekspedisi Indonesia Baru.

Kemudian tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti sebagai perwakilan dari Themis Indonesia, UGM, dan Sekolah Tinggi Hukum Jentera.

Tak hanya itu, tim teknis turut mendukung dalam aspek sewa peralatan, sedangkan tim-tim nonteknis juga disebut turut berperan dalam proses perencanaan.

“Semua orang memberikan kontribusi di proyek ini. Ya enggak bisa dihitung (biaya produksi) karena enggak pernah dihitung. Bagaimana menghitungnya?” tuturnya.

“Dan ini kan enggak bisa dipahami praktik politik di Indonesia yang semua serba uang. Orang partai atau timses dengar ini ya mereka enggak percaya karena memang seperti ini mungkin enggak ada dalam kamus mereka.”

Dirty Vote merupakan film dokumenter yang dirilis di saluran YouTube PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) Indonesia pada 11 Februari. Film bergenre dokumenter itu menampilkan tiga pakar hukum tata negara dan membedah perjalanan menuju Pemilu 2024 serta dugaan kecurangan yang terjadi di dalamnya.

Film itu diawali dengan menampilkan ucapan Presiden Jokowi mengenai anak-anaknya yang tak tertarik terjun ke dunia politik beberapa tahun lalu dan pada akhirnya jelas berubah saat ini.

Dirty Vote juga menampilkan dugaan ketidaknetralan para pejabat publik, wewenang dan potensi kecurangan kepala desa, anggaran dan penyaluran bansos, penggunaan fasilitas publik, hingga lembaga-lembaga negara yang melakukan pelanggaran etik. (Tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: