Cadar, Jenggot, dan Celana Cingkrang, Adakah Hubungannya dengan Ekstremisme?

Oleh M. Kholid Syeirazi

Penulis adalah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU)

Adakah busana dan ciri fisik (cadar, celana cingkrang, dan jenggot) identik dengan radikalisme? Tidak! Banyak orang bercadar tetapi tidak takfiri. Banyak orang memanjangkan jenggot dan bercelana cingkrang tetapi bisa menerima perbedaan.

Yang bercadar dan berjenggot bukan hanya orang Islam. Rabi Yahudi berjenggot dan berpeci, wanitanya bercadar. Mereka tidak radikal, apalagi teroris. Di Israel, zionisme justru hidup di kepala orang yang dagunya klimis.

Tetapi, apakah cadar, jenggot, dan celana cingkrang tidak terkait sama sekali dengan radikalisme? Ada hubungan, meski tidak identik.

Cadar, celana cingkrang, dan jenggot dapat merupakan ekspresi dari ekstrimisme (الغلوّفى الديانة).

Pada tahun ke-8 dan 9 H, Nabi menunjuk penghulu dan cikal bakal ekstremis. Namanya Dzul Khuwaisirah at-Tamimi. Hadits sahih Bukhari-Muslim menyebut ciri-ciri fisiknya: cekung matanya (غائر العينين), menonjol keningnya (مشرِف الوجنتين), lebar dahinya (ناشز الجبهَة), lebat jenggotnya (كث اللحية), plontos kepalanya (محلوق الرأس), dan congklang celananya (مشمَر الإزارِ).

Pada tahun ke-37 H, Ibn Abbas menambahkah ciri fisik pengikut Dzul Khuwaisirah: tangannya kapalan (ايديهم كانهاثفن الابل), wajahnya tercetak noktah bekas sujud (وجوههم معلمة من اثار السجود).

Mereka ahli agama. Tetapi, karena berlebih-lebihan dalam beragama, mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya.

Batas aurat wanita adalah subjek perdebatan para ulama. Ulama membedakan aurat wanita dewasa, anak-anak, dan hamba sahaya.

Ulama juga membedakan aurat wanita terhadap sesama wanita Muslimah dan non-Muslimah, aurat wanita terhadap lelaki mahram-nya selain suami, dan aurat wanita terhadap lelaki non-mahram.

Ulama juga membedakan aurat wanita di dalam dan di luar salat. Namun, mayoritas mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menyatakan wajah wanita dewasa bukan aurat, baik di dalam maupun di luar salat.

Karena itu, sebagian ulama Malikiyah justru me-makruh-kan penggunaan cadar karena dianggap غلو alias berlebih-lebihan (Wizâratul Awqâf was Syu’ūnul Islâmiyyah Kuwait, Al-Mawsū’ah al-Fiqhiyah, 1983, Vol. 41: 134).

Dasar hukumnya adalah QS. An-Nur/24: 31):

ولايبدي نزينتهن إِلا ما ظهرمنهَا

…” dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang tampak dari mereka.”

“Kecuali yang tampak itu” menimbulkan banyak penafsiran. Ada yang menafsirkan ‘yang biasa tampak.’ Artinya tergantung adat kebiasaan. Ini membawa pada batas yang lebih longgar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: