Pasangan Christopher Rungkat/Aldila Sutjiadi menjuarai final tenis ganda campuran di Jakabaring Sports City. Setelah 16 tahun, baru kali ini Indonesia mendapat emas cabang tenis Asian Games. (Sumber foto Sindonews.com)
EDITOR.ID, Jakarta,- Indonesia menorehkan sejarah emas. Meski Asian Games 2018 belum usai, kontingen Indonesia sudah melampaui rekor perolehan medali emas dalam sejarah partisipasinya di pesta olahraga multi-event terbesar kedua di dunia itu.
Indonesia meraih 12 emas! Jumlah raihan medali terbesar sepanjang sejarah negara kita mengikuti Asian Games. Indonesia pernah meraih medali terbanyak di Asian Games 1962, namun saat itu hanya 11 emas. Dan Indonesia masih akan menambah pundi emas karena pertandingan masih banyak dan Indonesia berpeluang merebut emas.
Aqsa Sutan Aswar yang meraih medali emas nomor ketahanan jetski, Minggu (26/8/2018) mencatatkan sejarah kepada kontingen Indonesia yang resmi melewati rekor 11 medali emas yang dikoleksi para pendahulunya, yaitu ketika kita juga menjadi tuan rumah pada 1962.
Dengan 12 emas sekarang ini, kontingen tuan rumah berada di urutan kelima, dan memasuki pekan kedua dengan peluang sangat besar untuk meraih target “rendah hati†masuk 10 besar.
Kisah heroik kontingen Indonesia tidak melulu ekuivalen dengan medali emas. Tengok sprinter Lalu Muhammad Zohri, yang hanya menempati urutan ke-7 di final 100m putra.
Dalam usia 18 tahun, dia bisa mendapat kehormatan tampil bersama tujuh finalis lainnya di sprint 100meter, nomor paling bergengsi di cabang atletik, the mother of all sports. Tentu, dialah yang paling muda di antara mereka.
Catat, dia bisa berada di sana tidak ada kaitannya dengan posisi Indonesia sebagai tuan rumah, tetapi karena dia mampu melewati setiap tahap kualifikasi, termasuk semifinal yang hanya mengambil dua pelari tercepat dari setiap group.
Delapan pelari finalis itu adalah elite terbaik Asia saat ini, dan lintasan Zohri berdampingan dengan sprinter Tiongkok Su Bingtian yang akhirnya meraih emas sekaligus memecahkan rekor. Dia, sekali lagi, baru 18 tahun.
Jutaan penonton televisi dan Presiden Joko Widodo yang hadir di stadion juga menjadi saksi perjuangan heroik pebulutangkis Anthony Sinisuka Ginting 22 Agustus lalu. Dia tampil habis-habisan, bahkan terkesan memaksakan diri, dalam final beregu putra melawan tunggal terbaik Tiongkok, Shi Yuqi.
Pada set ketiga, cedera otot menghalangi penampilannya, tetapi Anthony tetap bertempur – melawan Shi dan melawan rasa sakit di kakinya. Dia bahkan sempat meraih match point, sampai akhirnya tidak kuat lagi dan rebah di pinggir lapangan tak mampu menyelesaikan pertandingan.
Berjuang, sampai kamu tidak mampu berjuang — itulah teladan baik yang ditunjukkan anak muda ini kepada jutaan rakyat Indonesia.
Kawan dan lawan pun bersimpati padanya. Seperti ditunjukkan Shi yang berjongkok menemani dan terus menghiburnya, baru melakukan selebrasi kemudian.
Olahraga lebih dari sekedar menang, karena dia juga bermakna solidaritas dan sportivitas — seperti dicontohkan Anthony dan Shi.
Dunia menjadi saksi, ketika kontingen Korea Selatan dan Korea Utara berparade saling bergandengan tangan dalam satu kontingen menggunakan bendera unifikasi pada acara pembukaan di Stadion Utama Bung Karno 18 Agustus lalu.
Ini pertama kalinya dalam pesta olahraga multi-event di luar Semenajung Korea, dua negara itu memakai bendera unifikasi — sejarah baru Asian Games. Cabang olahraga yang menampilkan tim gabungan Korut dan Korsel juga lebih banyak dibandingkan saat Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korsel, Februari lalu.
Pesan perdamaian dan solidaritas yang digemakan Indonesia langsung diterapkan di hari pembukaan dan menjadi berita besar di seluruh dunia. Olahraga menjadi penawar panasnya politik dunia.
Kenapa Kalau Tuan Rumah?
Mungkin banyak pemerhati olahraga yang menilai bahwa faktor tuan rumah memberi keuntungan tersendiri bagi Kontingen Indonesia.
Pembinaan atlet belum maksimal dan prestasi Asian Games sekarang hanya gebyar sesaat saja, katanya.
Faktor tuan rumah juga memberi keuntungan untuk nomor-nomor yang berbasis penilaian subjektif dewan juri, katanya.
Namun, tahukah Anda bahwa 10 dari 12 medali emas yang dikoleksi Kontingen Indonesia sekarang berasal dari cabang-cabang olahraga yang terukur?
Setelah dua medali emas dari keindahan beladiri takwondo poomsae dan wushu, Indonesia memanen emas dari balap sepeda downhill, angkat besi, dayung, paralayang, panjat tebing, tenis, karate kumite, dan jetski.
Itu merupakan cabang-cabang olahraga yang jelas dan transparan siapa pemenangnya, dan lawan pun mudah mengakui kekalahan mereka. Ini soal siapa yang tercepat, terkuat, dan tertinggi.
Eko Yuli Irawan misalnya, pada nomor clean and jerk angkat besi dia mampu mengangkat beban 170 kg dan menang karena tidak ada lawan yang mampu menyangga seberat itu. Sederhana.
Tidak perlu mengurangi rasa bangga bahwa Indonesia sukses karena menjadi tuan rumah.
Tiada Hari Tanpa Emas
Pesta Asian Games ini digelar tepat pada bulan perayaan kemerdekaan Indonesia. Setelah lagu kebangsaan dinyanyikan pada 17 Agustus, lalu sehari kemudian pada pembukaan Asian Games, para atlet kita memberi alasan menyenangkan untuk kembali mengumandangkan Indonesia Raya hari demi hari berikutnya dengan penuh rasa bangga.
Itu karena sehari setelah pembukaan, tidak ada hari yang berlalu tanpa kita meraih emas, sampai berita ini dibuat.
Berikut kronologinya:
19 Agustus
Defia Rosmaniar mempersembahkan emas pertama Indonesia dari nomor individual takwondo poomsae putri.
20 Agustus
Lindswell Kwok menjuarai nomor Taijiquan-Taijijian di cabang wushu putri.
Tiara Andini Prastika meraih emas balap sepeda gunung nomor downhill di sektor putri.
Khoiful Mukhib juga menjadi yang tercepat balap sepeda gunung nomor downhill di sektor putra.
21 Agustus
Eko Yuli Irawan mendapatkan emas angkat besi kelas 62 kg.
22 Agustus
Tim paralayang Indonesia (Hening Paradigma, Thomas Widyananto, Rony Pratama, dan Jafro Megaranto) menjuarai nomor ketepatan mendarat. Pertama kali dalam 20 tahun, Kontingen Indonesia bisa mengumpulkan enam medali emas.
23 Agustus
Jafro Megawanto menambah emas paralayang di nomor ketepatan mendarat individual putra. Patut dicatat, baru tiga kali Asian Games Indonesia bisa mendapat lebih dari enam emas.
Aries Susanti Rahayu yang dijuluki Spiderwoman merebut emas panjat tebing yang untuk pertama kalinya menjadi medal event Asian Games, di final mengalahkan rekan senegara Puji Lestari. Aries adalah juara dunia pada kejuaraan di Tiongkok Mei lalu.
24 Agustus
Tim Indonesia meraih emas cabang dayung di nomor lightweight eight (LM8) putra, dengan skuat Tanzil Hadid, Muhad Yakin, Rio Rizki Darmawan, Jefri Ardianto, Ali Buton, Ferdiansyah, Ihram, Ardi Isadi, dan Ujang Hasbulloh.
25 Agustus
Pasangan Christopher Rungkat/Aldila Sutjiadi menjuarai final tenis ganda campuran di Jakabaring Sports City. Setelah 16 tahun, baru kali ini Indonesia mendapat emas cabang tenis Asian Games.
26 Agustus
Rifki Ardiansyah Arrosyiid menang final karate nomor kumite kelas 60 kilogram, emas ke-11 yang menyamai rekor 1962.
Aqsa Sutan Aswar juara ketahanan jetski yang merupakan cabang olahraga debutan Asian Games, sekaligus mencatat tonggak baru sebagai medali ke-400 (emas, perak, perunggu) sepanjang sejarah Indonesia di Asian Games.
Berpeluang Tambah
Momentum emas Kontingen Indonesia akan berlanjut. Ambil contoh, delapan pesilat masuk final, beberapa dari mereka berstatus juara dunia.
Di cabang badminton, tuan rumah mengirim empat wakil ke semifinal, yaitu Anthony Ginting dan Jonatan Chistie (tunggal putra), dan Fajar Alvian/Muhammad Rian Ardianto dan Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo (ganda putra).
Senin (27/8/2018) ini, Indonesia masih berpeluang meraih emas di nomor perahu naga putra 1000m di venue dayung Jakabaring Sports City Palembang. Pada Asian Games 2010, Indonesia mendapat emas di nomor ini.
Finalis lainnya adalah tim voli pantai putra Indonesia Ade Candra Rachmawan/Mohammad Ashfiya yang akan bertemu tim Qatar.
Nomor estafet panjat tebing putra-putri juga kesempatan besar untuk menambah medali emas, karena Indonesia masuk ranking teratas dunia bersama Tiongkok dan Iran.(tim)