Peran Bung Karno di Strategi Olah Raga, Kilas Balik Haornas 2019

KOLOM PANDU DEWANATA
Penulis adalah Indonesia Harus Berkibar Pemuda asli Blitar

Miris dan mengecewakan. Mungkin itu ungkapan tepat saat Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang jatuh pada 9 September 2019 ini sepi dari gemuruh pemberitaan dan antusias masyarakat.

Publik pun gagal mendapatkan efek getarnya yang biasanya ikut larut menyemarakkan setiap event perayaan berskala nasional.

Kita semua patut bertanya kenapa hal ini bisa terjadi. Bukankah Haornas memilki esensi penting sebagai hari bersejarah dunia olahraga Indonesia, yang eventnya setiap tahun harusnya semarak dan membumi, baik itu untuk atlet, praktisi olahraga, para stakeholder maupun seluruh elemen masyarakat di nusantara ini.

Sepertinya pemangku kepentingan, dalam hal ini Kemenpora gagal menterjemahkan “roh” Haornas secara esensial.

Haornas bisa jadi dianggap sebagai seremonial dan “upacara” hari olahraga nasional belaka yang terfokus pada tuan rumah penyelenggara.

Padahal tidak begitu. Jika membuka catatan sejarah, tanggal 9 September 1948, yang kemudian tanggal itu dijadikan Haornas, adalah momentum penting digelarnya Pekan Olah Raga (PON) pertama di tanah air.

Gelaran olahraga itu mampu dijadikan kereta progresif yang bermuatan “perjuangan” mengisi jalannya revolusi Indonesia.

Dengan segala keterbatasannya, event itu disiarkan membahana sampai mancanegara. Dijadikan alat propaganda dan menjadi ajang untuk menunjukkan kepada publik Internasional bahwa bangsa Indonesia eksis sebagai negara yang baru merdeka.

Itulah esensi Haornas yang sebenarnya, hari dimana olahraga diberi kedudukan terhormat oleh negara dan memiliki dimensi “sakral” yang tidak boleh diperingati hanya sebatas seremonial belaka.

Jika berkaca pada gelaran PON pertama, bukan perkara mudah event itu terselenggara.

PON pertama merupakan bentuk “tandingan” kala Indonesia ditolak ikut Olympiade XIV di London, Inggris.

Waktu itu melalui wadah Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI), keinginan Indonesia mengirimkan atletnya dipolitisasi dan dihalangi Belanda yang tahu “misi” dibalik ikut ajang Olympiade.

Belanda paham jika Indonesia diikutsertakan diajang bergengsi dunia itu berarti kekalahan secara diplomasi baginya dan kemenangan secara politik bagi Indonesia.

Jadi sangat jelas era revolusi, elite politik dan institusi olahraga Indonesia bisa menempatkan olahraga sebagai sarana perjuangan, terlepas itu bersifat intuisif akan tetapi memiliki makna strategis bagi bangsa ini.

Presiden Soekarno sendiri turun tangan membuka gelaran PON pertama di Surakarta dihadapan para atlet dan ribuan masyarakat yang antusias mengikuti event berskala “nasional” itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: