Menghujat Blusukan Risma, Kepura-puraan dan Anti Perubahan

Bahkan ia sangat lantang dan agresif untuk membuat ujaran hujatan dan tudingan apapun terhadap sosok yang mulai menjadi prominence media, tanpa mengenal secara utuh sosok yang dihujatnya.

Bagi orang yang sudah terbiasa menebar rasa pesimistis dan kebencian, sulit bagi dirinya dalam 24 jam menjalani masa hidup di dunia, dalam sedetik pun mau sekali-kali tampil beda, membangun ujaran dan narasi positif. Ia selalu nyinyir hal-hal berbau negatif dan menilai orang kurang baik jika tidak menguntungkan dirinya.

Gemuruh yang ada dalam dada dirinya hanyalah hawa nafsu yang dipenuhi sikap dengki, mencurigai, dan suka mendegradasi karakter orang seolah akhlaknya lebih rendah dibanding dia.

Hal inilah yang ketika melihat orang berusaha menjadi orang baik langsung dihujat sebagai pencitraan. Ironisnya para penghujat ini tidak mengenal secara utuh sosok Bu Risma. Sehingga mereka mengumbar hujatan hanya melihat sedikit permukaan kulitnya. Tapi tidak mengenali pribadi dan kehidupan orang yang dihujatnya.

2. Anti Perubahan

Kedua, penulis melihat para penghujat Bu Risma ini berlatar belakang karakter manusia :

  1. Berpikiran linier
  2. Orang zona nyaman
  3. Orang Yang Tidak Menyukai Perubahan (Disruptif)
  4. Selalu Sinis dengan Kehidupan

1. Berpikiran Linier

Penulis melihat orang-orang yang menghujat Bu Risma dengan tuduhan melakukan pencitraan, selalu ingin mendikte Bu Risma untuk melakukan pekerjaan sesuai pandangan dia. Pandangan yang bersifat linier, melihat segala sesuatu itu yang sesuai menurut dia, tapi tidak mau melihat perbedaan pandangan.

Padangan linier yang dimaksud penulis disini adalah warisan kebiasaan yang sudah pakem bagi pandangan mereka. Jadi dalam pandangan linier itu melihat jabatan seorang menteri itu bekerjanya ya harus di kantor memimpin anak buah, menghitung dan menyalurkan dana APBN ke masyarakat.

Sehingga ketika mereka melihat sosok Bu Risma sebagai Menteri Sosial blusukan dianggap hal yang abnormal dan melawan arus (out of te boks). Menabrak pakem linier mereka, yang menganggap tugas seorang menteri itu harus begini begitu dan bukan blusukan.

Menurut penulis, Presiden Joko Widodo butuh orang yang bekerja tidak linier. Dalam arti ia harus mampu membuat perubahan dan terobosan dalam membangun budaya baru di tempat tugasnya.

Sehingga menurut penulis, “keunikan” Bu Risma tiba-tiba blusukan dan menyapa orang miskin di jalanan membuat dia memahami tugasnya mengangkat harkat dan nasib manusia.

Risma tidak ingin terseret dengan budaya rutinitas birokrasi kacamata kuda bahwa seorang menteri kerjanya cuma duduk di belakang meja, memimpin rapat, keliling daerah meresmikan project seremonial, atau melakukan literasi. Atau pandangan bahwa menteri itu tugasnya adalah pengambil kebijakan makro terkait program APBN.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: