Kiai Ahmad: Polri Harus Gandeng Ulama untuk Cegah Menyebarnya Paham Radikal

Orang yang tidak menggunakan hukum Islam itu memang benar diancam oleh Allah. Pertanyaan Kiai Ahmad terhadap logika berpikir ini. “Apakah umat Islam di Indonesia yang bukan sebagai negara Islam, tapi menggunakan dasar negara Pancasila, apakah kemudian orang Indonesia ini tidak pakai hukum Allah? kata Kiai Ahmad dengan nada tanya.

Kemudian Kiai Ahmad mengajak umat berpikir jernih, memakai akal sehat dan hati. “Umat Islam di Indonesia saat menjalankan ibadah Sholat berjamaah di masjid pakai apa? jawabannya jelas menggunakan Hukum Allah. Puasa pakai hukum Allah, Haji pakai hukum Allah, benar tidak,” kata Kiai Ahmad.

Nah, lanjut Kiai Ahmad, Ibadah Haji difasilitasi dan diatur negara, masjid dibangun dimana-mana untuk Sholat umat Islam difasilitasi dan dibangun oleh negara secara massif dan banyak. Zakat diatur negara, Haji diatur negara.

“Trus dimananya Indonesia yang tidak menggunakan hukum Allah untuk memberikan kemudahan warga negaranya umat Islam menjalankan ibadah,” kata Kiai Ahmad.

Jadi, lanjut Kiai Ahmad, kelompok berpaham radikal ini kan doktrin pemahaman yang tidak bagus, maka ditransfer ke beberapa masyarakat itulah yang membuat menjadi semakin runyam.

Kiai Ahmad mensinyalir paham radikal tumbuh subur di Indonesia ketika ajaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Wahabi dan Salafi mulai terbuka dan menyebar sekitar tahun 1980 an.

“Ada upaya Wahabisasi Internasional, pengembangan ideologi paham Wahabi tahun 1980 an itu memang sudah internasionalisasi. Dikembangkan di seluruh dunia,” katanya.

Paham radikal itu tumbuh karena mereka menganut paham Wahabi. Karena secara ideologi, Wahabi berpaham pada Khawarij, Mu’tazilah, secara politik Kilafah. “Disana ada konsep jika ada orang yang tidak ikut kelompok saya, itu kafir. Darah dan hartanya boleh diambil. Ini konsep yang dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaeman A Najr. Dia adalah pendiri paham Wahabi di Arab Saudi,” kata Kiai Ahmad.

“Kalau di NU itu kan tulisan Tauhid Laa ilaaha illallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] itu kan tidak diboncengkan sepeda (orang memakai kaos bertuliskan lafal kalimat Tauhid membonceng sepeda,red), tidak ditulis disini (menunjukkan benda,red) tapi dibaca, dipahami, diresapi dimasukkan dalam qolbu, dibaca setiap usai Sholat dengan khusuk,” sambungnya.

Zaman dahulu dalam ajaran ulama-ulama kita yang bernasab pada Rasulullah SAW melalui para sahabatnya tidak ada yang mengajarkan memboncengkan kalimat Tauhid dengan sepeda dan mempermainkan lafal tersebut. Kalimat itu bagi kami sakral dan penuh penghormatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: