Kepala BRIN: Lembaga Riset Negara Tercecer, BRIN Jadi Solusi

Tallkshow PPI UK "Masa Depan (Calon) Peneliti Pasca Peleburan Lembaga Penelitian ke dalam BRIN di Indonesia", Minggu (9/1)

Usaha indonesia dalam mendorong tata kelola dan ekosistem riset dan inovasi di indonesia dengan disahkannya UU Sisnas IPTEK, ditindak lanjuti dengan Perpres No. 78 Tahun 2021 dan pembentukan BRIN.

Lalu setelah terbentuknya badan ini kita lihat adanya usaha integrasi lembaga lembaga penelitian seperti BPPT, LBM Eijkmen, LIPI, dll.

Dalam proses tersebut muncul berbagai reaksi pro maupun kontra mengenai kebijakan tersebut. Bagaimana transisi tersebut bisa mendukung tata kelola dan pembentukan ekosistem riset yang lebih baik untuk indonesia.

Merespon hal ini, Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPI UK) adakan talkshow ?Masa Depan (Calon) Peneliti Pasca Peleburan Lembaga Penelitian ke dalam BRIN di Indonesia? secara daring, Minggu (9/1) malam.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan Indonesia ini punya 2 problem utama soal riset. Pertama adalah dominasi riset oleh pemerintah yang terlalu besar, lalu sumber daya punya pemerintah yang tercecer di 74 lembaga kementerian yang menyebabkan rendahnya critical mass.

“Kita bentuk BRIN sebagai policy maker di satu sisi tapi juga sebagai executing agency, karena kalau policy maker saja dia tidak punya cukup instrumen untuk melakukan fasilitasi,” Handoko.

Menurut Handoko, BRIN dibentuk atas dasar agar lembaga riset milik negara dapat lebih rapih, transparan, sesuai hukum dan tidak tersebar di berbagai kementerian seperti yang selama ini terjadi. Dengan pengintegrasian tersebut diharapkan kinerja dari lembaga riset negara dapat berjalan lebih efektif, efisien, dan terstruktur.

Di sisi lain, Akademisi Fakultas Hukum UGM Herlambang Wiratraman mengatakan tidak bisa satu ukuran cocok untuk semua dalam memperlakukan lembaga lembaga riset dalam konteks ketika harus berpindah ke BRIN semua.

“Peleburan Eikjmen ke BRIN misalnya itu jelas bentuk birokratisasi yang saya nilai mengancam masa depan riset,” ucap Herlambang.

“Problem dasar integrasi Eijkmen ke BRIN menunjukan proses sentralisasi dan kontrol, penundukan dan pendisiplinan. Peneliti tidak semua gabung akhirnya,” tambahnya.

Kemudian Kepala BRIN RI Handoko dengan tegas menjawab uraian Herlambang.

Handoko menjelaskan peleburan Eijkmen ke BRIN agar honorer mendapatkan kepastian hukum.

“30 tahun itu terjadi seperti itu, apalagi honorernya lebih tidak ada kepastian hukum lagi, karena dia tidak memiliki kewenangan untuk mengangkat honorer,” tuturnya.

“Kalau untuk periset Eijkmen sebenarnya tidak kita alih dayakan, dengan skema yang ada itu tidak semuanya ikut, karena sejujurnya nggak saya bolehin terima honor diluar yang sudah ditetapkan, sebenarnya problemnya cuma itu, makanya itu yang mereka sebut birokratisasi,” tambah Handoko.

Dalam talk show tersebut turut hadir sebagai narasumber, Senior Lecturer in Strategy and Innovation di University of Bristol, Surya Mahdi. (Gal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: