Gus Yahya: Perlu Rekontektualisasi Agama Ibrahimiyah

Para peserta forum Abrahamic Faiths Initiative (AFI), di Gregorian University, Roma, Italia, foto bersama usai acara. (ist)

EDITOR.ID, Vatikan,- Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengajak para pemimpin agama untuk melakukan refleksi sejujur-jujurnya tentang posisi teologis agama masing-masing dalam upaya perdamaian.

“Harus diakui, ada norma-norma ortodoksi yang memang masih mendorong segregasi, diskriminasi, dan konflik,” ujar Gus Yahya, sapaan akrabnya, dalam forum Abrahamic Faiths Initiative (Inisiatif Agama-agama Ibrahimiyah) di Vatikan, sejak tanggal Selasa-Jumat 14 sampai 17 Januari 2020.

Menurut Gus Yahya, norma-norma itu harus dihadapkan dengan konteks realitas globalisasi abad ke-21 ini, yaitu konflik antaragama tidak mungkin lagi dilokalisir sehingga akan memicu benturan universal yang katolik dan sudah pasti pada ujungnya akan meruntuhkan seluruh peradaban dunia.

Gus Yahya kemudian memaparkan upaya-upaya rekontekstualisasi fikih yang telah dilakukan di lingkungan Nahdlatul Ulama sejak 1984, yaitu ketika Rais Aam KH Achmad Shiddiq meletakkan kerangka teologis bagi “Ukhuwwah Basyariyyah”.

“Pada bulan Februari 2019 yang lalu, Musyawarah Nasional Alim-ulama NU menetapkan bahwa kategori kafir tidak lagi relevan untuk di ruang publik dalam konteks negara-bangsa moderen,” katanya.

Dimensi sosial-politik dari terma kafir sebenarnya terkait konteks keberadaan satu teokrasi tunggal yang universal, yang sekarang sudah tidak ada lagi,” sambungnya.

Dalam kesempatan itu, Monsignor Khaled Akasheh, seorang uskup Katholik asal Yornadia, menyatakan amat terharu mendengar semua paparan itu.

“Ini adalah perwujudan mimpi saya selama 25 tahun”, katanya.

Selanjutnya ia menegaskan bahwa bukan hanya Islam yang perlu melakukan rekontekstualisasi semacam itu, semua agama-agama dari keluarga Ibrahimiyah harus melakukannya.

Khaled Akasheh menjelaskan bahwa Gereja Katholik telah memulai upaya tersebut sejak didirikannya Dewan Ekumenikal Vatikan Kedua pada masa Paus Johanes XXIII pada 1962.

“Agama-agama Ibrahimiyyah harus merenungkan kembali hakikat kehadiran dan perannya dalam konteks realitas Abad ke-21 ini,” tegasnya.

Wakil dari kalangan Yahudi ultra-ortodoks Israel serta-merta menyambut ajakan itu dengan antusias.

Rabinat Adina Bar-Shalom, puteri mendiang Rabi Ovadia Yosef yang dulu adalah Rabbi Kepala (Chief Rabbi) Sephardi yang paling berpengaruh di kalangan Yahudi ultra-ortodoks di Israel, mengajak untuk menciptakan momentum bersama.

Misalnya, dengan menggalang pertemuan pemimpin-pemimpin agama Ibrahimiyah untuk mendialogkan topik tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: