“Gugatan” Pelanggaran Etika Hakim Konstitusi Terselip Nuansa Politis

Edi Winarto mempertanyakan dimana putusan MK yang dianggap janggal. "Selama niat dan tujuannya baik, bisa diterima akal sehat, maka produk hukum itu akan menjadi bermanfaat dan baik. Putusan MK ini memiliki nilai luhur karena memberikan ruang demokrasi yang lebih luas kepada generasi muda untuk punya peluang sebagai calon pemimpin masa depan, dimananya yang salah," ujarnya.

Ilustrasi Gedung MK

Jakarta, EDITOR.ID,- Pengamat hukum Edi Winarto menilai laporan pelanggaran etika yang dituduhkan ke majelis hakim konstitusi saat memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi kental dengan nuansa politis. Alasan praktisi hukum ini karena tujuan yang hendak dicapai para pelapor ini ditengarai mengarah pada agenda membatalkan putusan MK soal batas usia Capres Cawapres di UU Pemilu.

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersikap final dan mengikat dan ini diatur oleh konstitusi paling tinggi, sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yakni UUD 1945, secara tata urutan ketatanegaraan, UU tidak boleh bertentangan dengan ketentuan konstitusi diatasnya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (3/11/2023)

Edi Winarto menilai laporan pelanggaran etika dalam putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke Majelis Kehormatan MK, sarat dengan kepentingan dan bernuansa politis. Karena tujuan para pelapor ujungnya menyiratkan, bagaimana mereka bisa membatalkan peluang salah seorang Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Para pelapor memanfaatkan mekanisme sidang etika untuk melegitimasi putusan MK.

“Ini sudah diselipi kepentingan politis, bukan lagi memperjuangkan norma dan kaidah hukum,” tegasnya.

Edi Winarto mempertanyakan dimana putusan MK yang dianggap janggal. “Selama niat dan tujuannya baik, bisa diterima akal sehat, maka produk hukum itu akan menjadi bermanfaat dan baik. Putusan MK ini memiliki nilai luhur karena memberikan ruang demokrasi yang lebih luas kepada generasi muda untuk punya peluang sebagai calon pemimpin masa depan, dimananya yang salah,” ujarnya.

Kalau kemudian dikaitkan dengan adanya isu “intervensi” kekuasaan kepada Ketua MK, lanjut Edi Winarto, para “penggugat” putusan MK soak batas usia Capres Cawapres harus bisa membuktikan secara substansi dan nyata.

“Para pelapor harus dapat membuktikan secara faktual, konkrit dan nyata dimana letak intervensi dari penguasa, bukan hanya membuat narasi, opini dan kebenaran subyektif menurut versi mereka,” katanya.

Edi Winarto juga meminta para aktivis penolak putusan MK soal batas usia Capres Cawapres untuk memahami hukum secara utuh. Hukum itu harus imparsial, adil dan berlaku bagi semua. Tidak boleh ada diskriminasi dalam hak-hak setiap warga negara. Ini juga telah diatur dalam UUD 1945 pasal 27, warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan.

“Apakah anak Presiden dilarang menjadi calon wakil Presiden, apakah seorang anak muda berusia 36 tahun memiliki karaktek kepemimpinan, inovatif dan punya visi. tapi dilarang menjadi calon pemimpin di negeri ini karena dilarang dan dibatasi UU bahwa umurnya harus 40 tahun dulu,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: