Budayawan Aktor Penulis Sutradara Wartawan Tokoh Teater Indonesia, Nano Riantiarno Wafat pada Usia 73 Tahun

NASIONAL

Budayawan Aktor Penulis Sutradara Wartawan Tokoh Teater Indonesia, Nano Riantiarno Wafat pada Usia 73 Tahun
Budayawan Tokoh Teater, Nano Riantiarno

 

Editor– Jumat, 20 Januari 2023. Dunia teater Indonesia berduka atas kepergian salah satu putra terbaiknya, Nano Riantiarno pada usia 73 tahun yang dikenal sebagai pendiri Teater Koma.

Beredar berita duka cita dari akun Facebook atas nama N. Riantiarno:

Telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, suami, ayah, kakak, guru kami tercinta, Norbertus Riantiarno, di rumah beliau, pada pagi hari, Jumat, 20 Januari 2023, pukul 06.58 WIB.

Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau.

Yang berduka:
Ibu Ratna Riantiarno
Rangga Riantiarno-Almitra Pranawingtyas dan Kifa Kirana Altayra
Rasapta Chandrika dan Ayumi Astriani
Gagah Tridarma Prastya
Keluarga Besar Teater Koma.

Rumah Duka:
Sanggar Teater Koma, Jl. Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta Selatan.

Penguburan almarhum direncanakan, Sabtu, 21 Januari 2023, sebelum pukul 12.00 WIB siang, di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor.

Kabar duka ini salah satunya dibagikan istrinya, Ratna Riantiarno, melalui Instagram Story. Ia menulis,

Telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, suami, ayah, kakak, guru kami tercinta, Norbertus Riantiarno, di rumah beliau, pada pagi hari, Jumat, 20 Januari 2023, pukul 06.58 WIB. Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau.”

Rumah duka: Sanggar Teater Koma, Jl. Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta Selatan,” imbuhnya. “Penguburan almarhum direncanakan Sabtu, 21 Januari 2023, sebelum pukul 12.00 WIB di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor.”

Dilanjutkan dengan akun Facebook atas nama Sari Madjid yang merupakan ipar almarhum:
Tuhan berikanlah jalan yang terbaik untuk Mas Norbertus Riantiarno (Mas Nano) , jalan yang membahagiakan kita semua juga semangat dan kekuatan bagi isteri dan anak-anak (Ratna Riantiarno, Rangga, Dika dan Gagah) karena Engkau Maha Pengasih dan Penyayang. terima kasih Tuhan , Terima kasih Tuhan, terima kasih Tuhan . Amin

Pada tanggal 4 – 6 Oktober 2022 sebagai salah satu juri naskah drama, Nano Riantiarno mendapat tugas menilai naskah-naskah untuk menentukan pemberian Penghargaan karya Sastra dari Kementerian Pendidikan; namun Nano Riantiarno hanya mengirim hasil penilaiannya, karena sudah dirawat di Rumah Sakit.

Dan Jumat, 20 Januari 2023, Nano Riantiarno  wafat dalam usia menjelang 73 tahun.”

Nano Riantiarno diketahui sakit semenjak November 2022,  aktivitasnya terpantau  di rumah melalui akun Instagram masing-masing, Nano Riantiarno dan juga isterinya.

Saat itu, ketika kondisi kesehatannya yang menurun, Nano dikunjungi beberapa sahabatnya, termasuk aktris Sha Ine Febriyanti dan pendiri Teater Mandiri, Putu Wijaya.

Setelah operasi tumor di paha awal November 2022 lalu, dan tumor merambat ke paru mengakibatkan sesak nafas.

Sepeninggalan Nano Riantiarno, doa-doa serta ungkapan belasungkawa diucapkan oleh para sahabat maupun masyarakat luas lewat media sosial dan juga kiriman rangkaian bunga mengenangkan sosok Nano Riantiarno.

Nano Riantiarno adalah aktor sekaligus pendiri Teater Koma,  aktif di teater sejak 1965 di kota kelahirannya, Cirebon,  kemudian  mendirikan Teater Koma pada 1 Maret 1977.

Berkat kiprah dan karirnya ia konsisten memproduksi seni pertunjukan di panggung teater Indonesia,  Nano Riantiarno tercatat mendapat sederet penghargaan

Inspirasi, kesetiaan, dan kegigihannya dalam menciptakan karya-karya teater yang melintasi sekian zaman.

Nama lengkapnya Nobertus Riantiarno. Dalam berbagai publikasi namanya ditulis N.Riantiarno
lahir Cirebon, 6 Juni 1949 – wafat 20 Januari 2023),  seorang aktor, penulis, sutradara, wartawan dan tokoh teater Indonesia, pendiri Teater Koma (1977). Dia adalah suami dari aktris Ratna Riantiarno.

Nano Riantiarno pemeluk Katolik. Ratna istrinya seorang Muslimah, tapi rumah tangga mereka tak bermasalah. Nano, juga Sardono dan Iwan Fals, sering dijadikan contoh seniman beruntung. Pasangan hidup mereka piawai mengelola aktivitas berkesenian sang suami.

Nama Nano Riantiarno melekat dengan Teater Koma yang dia dirikannya pada 1 Maret 1977. Dan Nano dibangku SMA sudah aktif berteater.

Saat itu, Nano bergabung dengan kelompok kesenian Tunas Tanah Air Cirebon, dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kendati namanya besar di dunia teater, kegiatan seninya justru diawali melalui puisi dan cerpen ketika ia masih duduk di bangku SLTP.

Setelah tamat SMU pada 1967, Nano meneruskan pendidikan ke Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta, seangkatan dengan Slamet Rahardjo dan Boyke Roring.

Di sela-sela kesibukannya kuliah di ATNI, ia menyempatkan diri berguru pada Arifin C. Noer dengan jadi anggota Teater Kecil.

Dilanjutkan setelah lulus SMA, kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta dan kemudian di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara juga di Jakarta. Setelah itu Nano bergabung dengan Teater Populer pimpinan Teguh Karya pada 1968.

Ketika Teguh Karya membuka kursus akting sebagai kegiatan ekstrakurikuler di ATNI, Nano bergabung ke sana.

Meski kegiatan ekstrakurikuler itu tidak berlanjut, ia tetap bergabung bersama Teguh Karya, yang kemudian mendirikan Teater Populer pada 1968.

Di tempat itulah Nano menemukan jodohnya, Ratna Madjid, yang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 28 Juli 1978, dinikahinya. Dari pernikahan itu, keduanya dianugerahi tiga anak: Rangga Buana, Rasapta Candrika, dan Gagah Tridarma Prasetya.

Di Teater Populer ini pun Nano tidak bertahan lama. Ia kemudian mendirikan kelompok teater baru yang diberi nama Teater Koma. Kata koma, menurut Nano, berarti “berkesinambungan, tidak pernah akan selesai, tidak pernah titik.”

Melalui kelompok inilah nama Nano  melambung  sebagai salah satu tokoh teater Indonesia.  Sebagai penulis, peserta International Writing Program tahun 1978 di Iowa University, Amerika Serikat dan International Word Festival tahun 1987 di Canberra, Australia, ini sudah melahirkan puluhan naskah drama, puluhan skenenario film, beberapa novel, dan cerpen.

 Beberapa karyanya itu sempat memperoleh penghargaan di sederet sayembara. Pada 1972, 1973, 1974, dan 1975, misalnya, Nano meraih penghargaan dari Sayembara Penulisan Naskah Drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta.

Skenario filmnya berjudul Jakarta, Jakarta pun meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1978 di Ujung Pandang dalam kategori penulisan skenario film terbaik. Begitu pula dua novelnya, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja, mendapat penghargaan dari Sayembara Novel Majalah femina dan Kartini.

Karya sinetronnya berjudul Karina juga meraih Piala Viia pada Festival Film Indonesia 1987. Naskah dramanya yang berjudul Semar Gugat pada 1988 telah mengantar Nano ke Bangkok untuk menerima penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand saat itu.

Di samping memimpin Teater Koma, ia juga bekerja di beberapa tempat. Nano tercatat ikut mendirikan majalah Zaman dan bekerja sebagai redaktur (1979—1985). Ia pun pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985—1990) dan jadi anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kesenian Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada 1991—1992.

Nano juga sering jadi pembicara. Makalah-makalahnya tentang teater modern Indonesia pernah dibacakan antara lain di Cornell University, Ithaca, AS, pada 1990, serta Sydney University of New South Wales-Sydney, Monash University, universitas di Adelaide, serta universitas di Pert pada 1992.

Selain itu, Nano juga pernah melakukan kunjungan budaya ke negara-negara, seperti Mediterania, Skandinavia, Jerman, dan China. Pada 1987, atas undangan Japan Foundation, ia berkeliling Jepang untuk bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh teater di Negeri Sakura.

Selama berkarier di dunia teater, sejumlah pementasan Nano pernah terkena larangan tampil. Pementasan Suksesi, misalnya, dilarang berlanjut setelah 11 hari dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada Oktober 1990.

Begitu pula dengan pementasan Opera Kecoa yang direncanakan berlangsung pada 27 November—7 Desember 1990. Ketika itu, pementasan lakon tersebut terpaksa dibatalkan karena dilarang pemerintah. Dengan adanya pelarangan itu, lakon ini juga batal dipentaskan di tiga kota di Jepang, yakni Tokyo, Osaka, dan Fukuoda.

Padahal, Opera Kecoa pernah dipentaskan di dua kota: Jakarta dan Bandung, pada 1985, 11 hari di Jakarta dan 3 hari di Bandung. Kini, setelah banyak torehan karya dan jejak tiada dua, Nano telah beristirahat beriring doa orang-orang terkasih.

Pengalamannya sebagai sutradara  pernah mengalami  pelarangan ketika  kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru.

Naskah Suksesi dan juga Opera Kecoa (1990); tak dapat  izin pentas di Jakarta.

Naskah berikutnya Maaf.Maaf.Maaf (1978)  dilanjutkan dengan Naskah Sampek Engtay (1989) pun dilarang pentas di Medan, Sumatera Utara.

Meski demikian, Nano tak menghiraukan pelarangan itu terhadap keberlangsungan Teater Koma; yang menurut dirinya naska-naskah nya itu semua malah justru di beritakan di media-media,  hingga menjadi semakin dikenal oleh masyarakat luas, dan Nano tak perlu menghiraukan lagi meskipun tak memperoleh izin  dari pemerintah, kenyataannya memang sudah sangat populer, bahkan lebih populer dari dirinya sendiri.

Karya-karya lainnya yang memperoleh penghargaan seperti Semar Gugat meraih Penghargaan Sastra Asia Tenggara (SEA Write Award) 1998.

Skenario Jakarta Jakarta yang ia tulis meraih penghargaan Skenario Ter baik FFI 1978.

Dalam film Bidadari Mencari Sayap, ia meraih penghargaan sebagai Aktor Pendukung Pilihan Festifal Film Tempo. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: