Tanah Sekitar Calon Ibukota Baru Jadi Perburuan

Mayoritas penduduk di perbatasan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara merupakan transmigran dan pendatang.

Haji Lasmuin, warga Desa Semoi Dua, Kecamatan Sepaku yang kini menjabat sebagai Kepala Puskesmas Semoi II mengaku dirinya merupakan anak dari transmigran gelombang pertama dari Bojonegoro, Jawa Timur, yang tiba di lokasi itu pada 1971.

“Dulu ini masih hutan lebat. Hutan primerlah kira-kira. Kami ini istilahnya yang pertama buka lahannya. Cuma pakai parang menebang pohon-pohon besar itu lama sekali,” ujar Lasmuin menceritakan kembali ingatan masa kecilnya sekitar 41 tahun lalu.

Para transmigran yang mendapat jatah tanah seluas dua hektare per kepala keluarga harus bekerja ekstra keras untuk membuka hutan agar bisa membangun rumah dan menggarap lahan, kata pria yang memperistri warga asli Paser itu.

Bukan hanya satwa liar, transmigran juga harus menghadapi penyakit malaria yang mewabah dengan sangat cepat di sana. Pernah di satu masa, menurut Lasmuin, populasi berkurang drastis setelah lebih dari 50 persen penduduk desanya meninggal karena terjangkit malaria.

“Dari saya SD sampai saya kerja di Dinas Kesehatan Sepaku, malaria masih ada. Baru sekitar tahun 1990-an malaria mulai menghilang. Kalaupun ada yang terjangkit, biasanya mereka yang bekerja di hutan-hutan Kalimantan lainnya, bukan terjangkit di sini,” ujar dia.

Lain lagi cerita Haji Samiun Sapa (52), guru SD Negeri di Sepaku asal Way Riang, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ia merantau ke Sepaku setelah tamat SMA pada 1985 dan menjadi guru honorer di sana. (tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: