Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini

“Tapi entah mengapa saudara saya yang lelaki tidak ada yang kuat memimpin pesantren ini, sehingga akhirnya saya yang perempuan, dan kebetulan bukan alumni pesantren, harus meneruskan perjuangan orang tua mengelola pesantren ini” demikian bu nyai Haimah mengisahkan.

“Meski hanya dengan kemamapuan apa adanya, tapi alhamdulillah pesantren bisa berkembang seperti ini. Saya cukup bersyukur dengan keadaan ini” lanjutnya

Secara fisik, bangunan pesantren ini memang sudah cukup lumayan. Ada gedung sekolah permanen, dua unit bangunan rusunawa empat lantai untuk asrama santri, masjid dan perpustakaan. Bahkan di pesantren ini ada museum Pancasila yang menyimpan beberapa benda, buku dan naskah yang terkait dengan Pancasila. Keberadaan museum Pancasila ini atas prakarsa dan sumbangan dari budayawan Taufiq Rahzen.

Terus terang saya merasa kagum pada pesantren ini, yang mampu menanamkan nilai-nilai toleransi dan moderasi beragama sejak dini melalui laku hidup. Pesantren ini mampu menempatkan aspek teologis dan sosiologis beragama secara tepat.

Di pesantren ini aspek teologis beragama ditempatkan dalam ruang batin setiap individu, yang dijaga dan dirawat secara baik oleh masing-masing individu. Sedangkan aspek sosial ditempatkan di ruang publik yang bisa dinikmati secara bersama-sama sebagai ekspresi dan manifestasi spirit teologis dari masing-masing pemeluk agama.

Dengan cara ini tidak terjadi benturan teologis dari penganut agama yang berbeda dalam ruang sosial.

Pesantren Walisanga Ende telah mengajarkan bangsa ini bagaimana menjaga toleransi dan moderasi bergama secara indah, karena nilai-nilai itu ditanamkan sejak dini dengan cara-cara yang indah dan beradab. Di pesantren ini kami melihat Pancasila begitu indah dan nyata. (Besambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: