Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini

“Saat para santri shalat, kadang kami melakukan ibadah di kamar atau di serambi pesatren dekat masjid” demikian pater Pras bercerita dengan senyum bahagia.

Secara fisik dan tampilan tak ada perbedaan antara para pengasuh dan santri dengan pater. Penulis sendiri tidak mengenali mana pater dan mana santri, sehingga sempat bertanya pada pengasuh mana pater yang ikut mengajar di pesantren. Kemudian berdirilah sosok yang pakai gamis putrih, menggunakan iket kepala batik. Tampilannya sudah seperti kyai dan ustadz, kemudian memperkenalkan diri sebagai pater.

Selanjutnya bu Nyai Halimah menjelaskan bahwa pesantren ini sering kekurangan logistik, maklum hampir semua santri yang ada di pesantren Walisanga ini adalah gratis, hanya beberapa orang yang mampu saja yang membayar, itupun tidak seberapa jumlahnya, karena mayoritas santri dari kalangan bawah.

“Kami sering pusing dan sedih ketika cadangan logistik menipis dan belum ada kiriman dari donatur. Pada saat seperti ini saya hanya bisa berdo’a dan memohon kepada Allah untuk membukakan pintu rejeki” cerita bu Haiman sambil menahan air mata.

“Pada saat seperti itu, seringkali tiba-tiba datang kiriman beras dan kebutuhan lain dari seminari, biara Santo Yosef dan gereja untuk para santri”, kisahnya dengan suara yang makin serak menahan haru.

Ada kisah menarik dari bu Nyai Halimah, banyak orang tua santri yang selama anaknya mondok dipesantren belum pernah sekalipun datang ke pondok menemui pengasuh. Dia sering sedih saat melepas santri yang telah lulus tapi orang tuanya belum pernah sekalipun datang ke pondok.

“Jangankan ucapan terima kasih, datang ke pondok sekalipun belum pernah. Tapi saya maklum, karena untuk datang ke sini diperlukan biaya, sedangkan mereka rata-rata dari keluarga tidak mampu” Demikian Nyai Halimah menuturkan.

Ketika ditanya, bagaimana para santri bisa sampai ke pesantren sementara orang tua mereka tidak pernah mengantarkan apalagi menyerahkan ke pihak pesantren? Menurut bu Nyai Halimah, para santri yang tidak diantar orang tuanya itu biasanya datang diantar teman yang pernah nyantri di pesantren ini, atau teman yang tahu pesantren ini. Santri yang seperti inilah yang biasanya tidak pernah dikunjungi orang tuanya sampai mereka lulus.

Selain menanamkan toleransi dan moderasi beragama, pesantren Walisanga ini juga menjadi contoh kepemimpinan perempuan di kalangan pesantren. Sebenarnya ada beberapa saudara lelaki yang secara keilmuan layak memimpin pesantren, karena mereka jebolan pesantren terkenal di Jawa, seperti pesantren Ploso Kediri, Liboyo, Gontor dan lain-lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: