Misteri Jatuhnya Lion Air JT 610 Setahun Lalu Terkuak

Petugas SAR dan KNKT menemukan serpihan pesaeat Lion JT 610 dan dikumpulkan di Tanjung Priok Jakarta Utara (BBC)

Menurut KNKT, indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, “berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan.”

“Sehingga,” lanjut KNKT, “perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengindentifikasi kerusakan AOA sensor.”

Terungkap pula bahwa AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang “tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.”

Dalam bagian lain kesimpulannya, KNKT menyimpulkan, investigasi ini tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar.

“Sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi,” ungkap Nurcahyo.

Lebih lanjut diungkapkan, informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat.

“Yang mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat,” ungkap KNKT.

Sebagaimana diketahui Pesawat dengan nomor registrasi PK LQP yang dioperasikan maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan LNI JT-6110 itu dilaporkan hilang kontak saat baru saja terbang dari Bandara Soekarno-Hatta dengan tujuan Pangkalpinang.

Pesawat hilang dari layar radar pengatur lalu lintas setelah pilot pesawat melaporkan adanya beberapa gangguan pada sistem kendali pesawat, indikator ketinggian dan indikator kecepatan.

Pesawat tersebut dilaporlkan mengalami kecelakaan atau jatuh di wilayah perairan Tanjung Karawang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober 2018 tahun lalu pada pagi hari atau tak lama setelah pesawat tersebut tinggal landas atau take off dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten dengan tujuan Pangkalpinang.

KNKT pun menjelaskan kesembilan faktor tersebut. Pertama terkait asumsi reaksi pilot pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX).

Meskipun sesuai dengan referensi yang ada, tapi ternyata reaksinya tidak tepat dan tak sesuai perkiraan.

Kedua, mengacu pada asumsi ini, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.

Ketiga, desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan. Keempat, pilot mengalami kesulitan melakukan respon pergerakan MCAS, karena tidak adanya petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: