Oleh: Dewangga Evan (Mahasiswa Sosiologi Fisip Universitas Wijaya Kusuma)
PEMERINTAH pusat memutuskan mengganti nama PPKM Darurat menjadi PPKM Level tiga dan empat, sejak per tanggal 20 Juli. Sebelumnya PPKM Darurat diberlakukan sejak tanggal 3 Juli sampai 20 Juli. Aturan ini dilakukan di banyak daerah, termasuk pada Provinsi Jawa Timur, yang dikepalai oleh Ibu Khofifah Indar Parawansa.
Jawa Timur melakukan banyak pengetatan di setiap perbatasan-perbatasan dan juga menutup banyak usaha-usaha kecil dan makanan pada masyarakat kecil, dengan tujuan agar penyebaran COVID-19 ini bisa ditekan. PPKM Darurat di Jawa Timur ditutup dengan permintaan maaf dari Ibu Gubernur, karena merasa kurang maksimal dalam menanggulangi pandemi ini. Apakah memang demikian? Mari kita bedah satu persatu.
Kita mulai dengan jumlah kematian, sejak awal PPKM Darurat data kematian di Jawa Timur, dilansir dari kawalcovid19.id sebanyak 12,827 jiwa, pada tanggal 20 kemarin menjadi 16,643 jiwa, ini berarti selama 17 hari PPKM Darurat, angka kematian sekitar 4,000 jiwa. Ini menjadi catatan sangat penting bagi Ibu Gubernur, karena di sisi lain, angka kematian nakes sebanyak 471 jiwa, selama pandemi ini.
Sektor ekonomi menjadi sangat telak, salah satu yang memikul perekonomian Jawa Timur adalah sektor Informal, seperti bakul soto ataupun warung kopi, yang biasanya buka sampai malam, sejak PPKM Darurat sampai sekarang, tidak bisa mencari nafkah, dikarenakan tidak boleh ada kerumunan, ini merupakan telak bagi masyarakat Jawa Timur, khusunya pedagang kecil.
Lalu kita lanjut ke permasalahan testing. Selama masa PPKM Darurat, pada tanggal 3 juli, jumlah testing PCR sebanyak 1,931,892 orang sedangkan pada akhir PPKM darurat sebanyak 2,226,757. Ini hanya naik sebesar 13,2%. Maka dari jumlah penduduk Jawa Timur, yang sudah ditest, masih sebanyak 5%. Ini menandakan sebenarnya kasus Pandemi di Jawa Timur hanya terlihat seperti pucuk gunung es, sehingga perlu penelitian dan? keakuratan data serta tracing dan testing lebih banyak lagi, agar ke depan pemerintah bisa membaca pola penyebaran pandemi ini.
Sedangkan Vaksinasi, Jawa Timur diklaim oleh Ibu Khofifah sebagai yang tertinggi di Indonesia, sebanyak 7 juta orang terkonfirmasi telah divaksin, namun kita harus tahu, Jawa Timur dihuni sebanyak 40 juta orang, dan ternyata masih 30% dari jumlah lansia yang harus divaksin. Ini berarti bahwa vaksinasi di Jawa Timur tidak merata.
Menurut gambaran di atas, perlunya kebijakan yang tegas, kuat dan cepat dari Ibu Gubernur untuk lebih bisa mengendalikan pandemi COVID-19 ini, karena yang dibutuhkan masyarakat adalah kejelasan perihal data dan transparansi penanggulangan pandemi secara ekonomi dan kesehatan.
Masyarakat dalam benaknya bertanya, setelah Ibu Gubernur meminta maaf, lantas kebijakan apa yang akan dikeluarkan? apakah pandemi di Jawa Timur bisa selesai hanya dengan kata maaf???.